Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.oid
REPUBLIKA.CO.ID, Antrean kendaraan untuk mengisi bensin Pertalite kini sudah menjadi potret sehari-hari. Pengendara harus menyisihkan waktu 10-20 menit untuk mengisi, tergantung panjangnya antrean. Karena itu, bagi mereka yang tak sabar, memilih untuk menggunakan Pertamax meskipun dari sisi harga jauh lebih mahal.
Antrean tersebut bagaimana pun tak terlepas dari kenaikan harga minyak mentah dunia yang melambung tinggi. Kondisi itu menyebabkan harga bensin meroket.
Sementara Pertalite sebagai produk bahan bakar penugasan yang mendapat subsidi pemerintah perlahan dibatasi agar alokasi anggarannya tidak jebol.
Berdasarkan catatan Pertamina, realisasi Pertalite per Juni 14,2 juta kilo liter, padahal kuotanya 23 juta kiloliter. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mewanti-wanti Pertamina agar bisa mengatur distribusi supaya tidak over kuota.
Baca juga : Anggota DPR Minta Pemerintah tidak Naikkan Harga BBM
Karena jika kuota berlebih otomatis jatah subsidi energi yang keseluruhan mencapai lebih dari Rp 500 triliun dapat membengkak. APBN pun semakin terbebani.
Lantas perlukah Pertalite naik?
Pertanyaan ini memang dilematis. Ada beberapa opsi. Pilihan pertama yang paling pragmatis adalah dengan menaikkan Pertalite, namun dalam range yang tidak terlalu mahal. Ini pun tetap mesti mempertimbangkan faktor inflasi.
Bagaimana pun kenaikan Pertalite akan memberikan faktor rambatan ke berbagai sektor. Dari mulai transportasi publik yang berdampak terhadap kenaikan tarif angkutan kota atau mungkin jasa ojek online.
Kemudian, kenaikan Pertalite juga berdampak pada kenaikan harga barang kebutuhan seiring dengan ongkos transportasi yang meningkat. Misal bila dari petani ke pasar yang sebelumnya habis bensin Rp 100 ribu meningkat jadi Rp 150-120 ribu. Pun hal nya jasa pengiriman.
Lonjakan inflasi tentu akan menjadi pil pahit bagi masyarakat yang baru mulai pulih setelah dihantam Covid-19. Jumlah penghasilan tetap atau berkurang, sementara biaya kebutuhan bertambah.
Baca juga : Harga Pertalite Naik, Pemerintah Wajib Beri Stimulus ke Rakyat
Nah, karena itu jika Pertalite dinaikan, maka pemerintah mesti menyiapkan bantalan jaring pengaman sosial dan memastikan harga kebutuhan pokok lain dapat terjangkau. Distribusi bantuan langsung tunai sebagai kompensasi dari kenaikan itu, mesti diberikan secara tepat sasaran.
Namun pemerintah bisa saja tidak menaikkan Pertalite yakni melalui skema pembatasan pembelian yang lebih ketat. Lewat opsi kedua ini, misal setiap kendaraan yang berhak mendapat subsidi hanya diperbolehkan maksimal lima liter per hari. Sisanya harus beli nonsubsidi. Hanya saja, kekurangan dari model ini adalah dari sisi pengawasan. Karena rentan terjadi kebocoran.
Pilihan ketiga yakni dengan tetap menambah kuota bensin subsidi. Plafon subsidi diperbesar mengambil kompensasi dari kenaikan pendapatan dari sektor tambang seperti batu bara dan atau komoditas sawit. Inflasi memang bisa ditekan. Namun ruang fiskal pemerintah menjadi sangat terbatas.
Anggaran untuk sektor-sektor lain menjadi sangat terpangkas karena semua tersedot ke subsidi energi. Padahal, pemerintah sudah mulai bersiap-siap untuk bangun infrastruktur ibu kota baru yang pastinya membutuhkan biaya tak sedikit.
Dari tiga pilihan itu, pemerintah sepertinya akan tetap mengambil opsi yang pertama dengan menaikkan secara terbatas. Sinyal-sinyal kenaikan itu pun sudah secara jelas terlihat dari komentar-komentar yang disampaikan oleh sejumlah pejabat, baik Kemenko Perekonomoian maupun Kementerian ESDM.
Baca juga : Pertalite Naik, Inflasi Diyakini tak Bisa Dikendalikan
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia bahkan telah meminta ke wartawan agar menyampaikan ke masyarakat agar bersiap-siap menaikkan harga Pertalite. Kebijakan ini, nantinya akan dikombinasikan dengan aneka pembatasan lain untuk menekan beban subsidi di APBN.
Boleh dibilang, kenaikan pertalite adalah sebuah pil pahit untuk meredakan nyeri bagi keuangan negara. Namun jika tidak barengi dengan resep-resep lain, bisa saja dia memicu alergi atau efek sampingan lain.