REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Doktor Ilmu Pertahanan Hasto Kristiyanto menyampaikan paparan dengan tema Pancasila dan Api Islam di kampus IAIN Pontianak, Jumat (26/8/2022) pagi. Tajuk acara itu adalah “Penguatan Wawasan Kebangsaan, Fakta Radikalisme Global dan Ikhtiar Penyangga NKRI”.
Terlihat hadir mendengar paparan Hasto antara lain Anggota DPR Fraksi PDIP dari daerah pemilihan Kalimantan Barat Lasarus (Ketua Komisi V DPR) dan Maria Lestari. Juga hadir sejumlah kepala daerah yang diusung PDIP, anggota DPRD setempat, dan pengurus DPD PDIP Kalimantan Barat. Sementara Rektor IAIN Pontianak Dr.H.Syarif hadir memimpin jajarannya di acara itu, bersama ratusan mahasiswa yang ikut mendengarkan paparan Hasto.
Rektor IAIN Pontianak, Dr. Syarif, mengatakan kehadiran Hasto sebagai tokoh nasional, untuk sharing tentang nasionalisme di kalangan civitas akademika IAIN.
"Sharing tentang bagaimana tidak terjadi pemisahan atau dikotomi antara agama dan kehidupan bernegara. Bagi kita Pancasila sudah final. Namun bagaimana memperkuat atau memperbesar partisipasi anak bangsa ini, khususnya para mahasiswa IAIN agar lebih mapan lagi,” kata Syarif.
Dalam paparannya, Hasto memaparkan panjang bagaimana Indonesia dibangun berdasar gotong royong seluruh anak bangsa. “Indonesia dibangun untuk semua. Meski berbeda suku, agama, status sosial; berbeda gender dan profesi, dengan kesadaran bersama berjuang melawan penjajahan Belanda. Atas kesadaran terhadap Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, maka PDI Perjuangan bersama NU memperjuangkan Hari Santri sebagai spirit semangat Hubbul Wathon Minal Amin dan juga Hari Lahir Pancasila," urai Hasto.
Hasto lalu memaparkan bagaimana Islam di Nusantara telah berakulturasi, bahkan berdialektika dan bersintesa dengan cara hidup di bumi Nusantara yang begitu majemuk. “Contoh akulturasi budaya terjadi ketika Sunan Kalijaga berdakwah Islam dengan wayang. Kesatupaduan filosofi Islam menyatu dengan falsafah Nusantara yang telah hidup ribuan tahun sebelumnya. Sayang, kini ada segelintir kelompok yang berpikiran sempit dan mengharamkan wayang dan gamelan.
Hasto juga memaparkan panjang lebar soal makna logo Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat visioner mengenai Indonesia dan dunia dimana peradaban Islam Nusantara memiliki visi yang begitu hebat bagi dunia. Menurutnya, semua hal itu penting untuk memahami batapa radikalisme menjadi cermin kemunduran peradaban karena minimnya pemahaman terhadap toleransi.
“Soal Pancasila bagaimana? Ketika kita memahami Pancasila berdasarkan falsafah yang sebenarnya, yang disampaikan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan kemudian bagaimana Pancasila tersebut diterima secara aklamasi oleh para pendiri bangsa, maka seharusnya Indonesia bebas dari berbagai bentuk radikalisme. Sebab seluruh agama mengajarkan kebaikan, budi pekerti, etika dan moral, serta tidak ada yang mengajarkan sikap yang anti kemanusiaan,” kata Hasto.
“Maka Bung Karno menggali seluruh mutiara peradaban Nusantara dan dunia, bagaimana Nusantara tumbuh subur dengan seluruh agama-agama yang ada di dunia, yang menyatu dengan local wisdom, dan berkesesuaian dengan kondisi geografis Nusantara sebagai negara kepulauan. Dari Pancasila itu tegas bahwa pada dasarnya Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan,” sebutnya.
“Yang perlu diketahui apa makna dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Bung Karno luar biasa, ketuhanan yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang berbudi pekerti. Tidak hanya setiap warga, bahkan negara pun menyembah Tuhan. Dengan cara apa? Sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Apakah Pancasila memperbolehkan atheis? Tidak boleh. Karena bukan hanya setiap warga negara Indonesia, tapi negara pun menyembah Tuhan,” urai Hasto.
Menurut Hasto, kalau Pancasila dalam spirit kelahiran dan falsafahnya dipahami, maka tidak akan ada radikalisme. Mereka yang bergerak dengan ajaran membenci pihak lain, dan mengajarkan ideologi kegelapan yang anti kemanusiaan, justru tidak memahami hakekat kehidupan yang ber-Tuhan.
“Sebab mana ada agama yang mengijinkan anti kemanusiaan? Untuk itu pahamilah api Islam dan juga makna yang misalnya terkandung dalam logo NU yang penuh dengan makna Islam sebagai rahmatan lil alamin,” kata Hasto lagi.
Lalu bagaimana peran kampus seperti IAIN? Hasto mengatakan kondisi saat ini bisa terjadi karena kita terlalu terpaku pada ke dalam diri sendiri (inward looking), dan bukan berpikir keluar (outward looking). Agama juga berusaha dipisahkan dari ilmu pengetahuan. Padahal bila demikian, maka akan sulit untuk berkemajuan. Pada titik itulah peran kampus sangat penting di dalam mendidik anak bangsa dan menyiapkan calon-calon pemimpin bagi masa depan.
“Ada disertasi yang menjabarkan tentang prinsip-prinsip ketuhanan yang maha esa, keadilan sosial, kemanusiaan, persatuan dalam perspektif Islam. Semua match. Lalu kenapa sekarang justru ada yang mempertentangkan? Ini karena kita inward looking,” ucap Hasto.
“Jadi daripada mencela pemimpin kita sendiri dan sesama anak bangsa, lebih baik kita berjuang keluar seperti Bung Karno membela kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika, termasuk Aljazair dan Palestina. Itu juga sikap PDI Perjuangan. Maka kami berharap kepada seluruh mahasiswa, gemblenglah Anda untuk menjadi pemimpin bangsa masa depan,” pungkas Hasto.