Jogja Kian Macet, Mau Sampai Kapan?
Red: Fernan Rahadi
Pemandangan Tugu Pal Putih saat senja di Yogyakarta, Selasa (9/8/2022). Kawasan Tugu Pal Putih menjadi salah satu primadona pengunjung menghabiskan saat senja. Tugu Pal Putih Merupakan bagian dalam sumbu filosofis Yogyakarta, sebuah jalan atau garis membentang lurus yang menghubungkan Tugu Pal Putih, Malioboro, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak. Garis membentang lurus itu merupakan garis imajiner memiliki makna mendalam. | Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Oleh : Fernan Rahadi
REPUBLIKA.CO.ID, Belum genap sepekan pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah, lalu lintas di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih tetap padat. Barangkali benar dalih pemerintah menaikkan harga BBM, bahwa subsidi energi selama ini lebih banyak dinikmati masyarakat kelas atas alias tidak tepat sasaran.
Di tengah ramainya polemik kenaikan harga BBM tersebut, muncul wacana menarik yang diutarakan Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana. Anggota dewan dari Fraksi PKS tersebut meminta pemerintah daerah untuk menggratiskan moda angkutan umum. Ini tentu merupakan wacana yang perlu disambut baik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kendaraan bermotor di DIY tahun 2021 mencapai 3,024 juta. Jumlah tersebut terdiri dari mobil sebanyak 382.095, bus 3.966, truk 63.994, dan motor sebanyak 2.574.060.
Jumlah kendaraan di DIY tersebut menempati urutan ke-13 pada daftar provinsi dengan kendaraan terbanyak seluruh Indonesia. Urutan pertama ditempati Jawa Timur dengan jumlah 22,861 juta kendaraan, disusul DKI Jakarta (21,034 juta), dan Jawa Tengah (18,811 juta).
Meskipun dilihat dari sisi jumlahnya tampaknya kendaraan di DIY jauh lebih sedikit ketimbang Jawa Timur, namun angka 3,024 juta terlihat banyak mengingat DIY merupakan provinsi dengan luas terkecil kedua nasional dengan luas 3.185,80 kilometer persegi.
Tentunya warga DIY tidak menginginkan kondisi lalu-lintas di DIY seperti di Jakarta (luas 664,01 kilometer persegi) yang tiap hari tidak bisa melepaskan diri dari kemacetan di jalan. Oleh karena itu, jumlah kendaraan pribadi jika bisa jangan sampai bertambah lagi, syukur-syukur berkurang atau disubstitusi dengan penambahan moda angkutan umum.
Maka dari itu, wacana penggratisan moda angkutan umum rasa-rasanya menjadi wacana yang perlu disambut bersama. Bahkan, sebisa mungkin penggratisan tidak hanya dilakukan jika terjadi kenaikan harga BBM saja. Berapapun harga BBM sudah selayaknya masyarakat DIY memiliki fasilitas angkutan umum yang berkualitas namun ramah kantong.
Sejauh ini, respons Pemda DIY melalui Dinas Perhubungan adalah kepastian tidak menaikkan tarif Trans Jogja. Ini sejatinya merupakan respons yang cukup baik. Namun yang mengecewakan adalah respons kedua yakni pengurangan armada di trayek-trayek sepi.
Semestinya, pemerintah daerah justru memanfaatkan momentum kenaikan harga BBM ini dengan memperbanyak armada, bukan malah menguranginya. Ini sekaligus menjadi sarana promosi agar masyarakat kembali mau menggunakan angkutan umum. Tampaknya, mindset progresif seperti ini belum dimiliki pemerintah daerah.
Padahal dalam era disrupsi seperti saat ini diperlukan terobosan-terobosan yang bersifat progresif, seperti halnya penetapan pajak progresif untuk mengurangi kepemilikan kendaraan pribadi dalam satu keluarga pada 2012 silam.
Jika tren jumlah kendaraan pribadi dari tahun ke tahun terus meningkat, maka diperlukan cara- cara progresif pula untuk mengimbangi itu, semisal dengan memperbanyak moda angkutan umum.Setidaknya itulah yang ada di benak saya para pembaca sekalian. Selamat berakhir pekan.