Sabtu 17 Sep 2022 21:13 WIB

Bahaya Konsumsi Minuman Kemasan dengan Pemanis bagi Anak-Anak

Semakin dini seseorang terpapar minuman kemasan berpemanis semakin berisiko diabetes

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Gita Amanda
Anak bisa mengidap penyakit diabetes tipe 1 (Ilustrasi).  Semakin dini seseorang terpapar minuman berpemanis dalam kemasan maka semakin tinggi mengalami risiko berbagai kondisi, termasuk diabetes mellitus.
Foto: Diabetestreatment.com
Anak bisa mengidap penyakit diabetes tipe 1 (Ilustrasi). Semakin dini seseorang terpapar minuman berpemanis dalam kemasan maka semakin tinggi mengalami risiko berbagai kondisi, termasuk diabetes mellitus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis anak Kurniawan Satria Denta mengungkapkan semakin dini seseorang terpapar minuman berpemanis dalam kemasan maka semakin tinggi mengalami risiko berbagai kondisi, termasuk diabetes mellitus. Gula bisa bekerja dalam tubuh dan mempengaruhi secara sistemik.

"Semakin dini seseorang terpapar minuman berpemanis dalam kemasan maka semakin tinggi mengalami risiko kondisi obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung, ginjal, pembuluh darah, kanker, stroke, gangguan cemas, gangguan perilaku, hingga pikun," ujarnya saat berbicara di konferensi virtual, Sabtu (17/9/2022).

Kurniawan mengungkap sebanyak 42,6 persen balita di Indonesia sudah terpapar minuman berpemanis dalam kemasan. Alasan orang tua yang memberikan minuman ini kepada anak supaya bisa diam, tenang, tidak rewel. Bahkan, ia mengungkap lebih dari 61,3 persen penduduk Indonesia di atas usia 3 tahun mengonsumsi paling tidak satu botol minuman berpemanis dalam kemasan setiap harinya.

Menurut Kurniawan, tingginya konsumsi gula karena sifatnya seperti candu. Artinya cara kerja gula di otak sama seperti narkoba, alkohol, atau rokok yang bisa menjadi candu. Ia mengingatkan, tingginya konsumsi gula dalam minuman berpemanis dalam kemasan sangat bahaya.

Ia menjelaskan, gula, butiran kecil tebu, pemanis sintetik atau apapun bentuknya kemudian ketika masuk dalam tubuh dan bekerja tidak hanya di level permukaan melainkan juga molekuler, seluler, bahkan level terkecil tubuh yaitu DNA. "Jadi, pengaruhnya sangat sistemik tidak hanya bisa membuat gigi berlubang, gula juga bisa membuat jantung bolong," katanya.

Dokter spesialis anak itu menambahkan, gula juga tak hanya bisa mengganggu kinerja ginjal hingga liver karena gula bekerja dalam level molekuler. Akhirnya tingginya gula bisa menyebabkan diabetes mellitus. Ia menambahkan, seringkali orang yang punya riwayat keluarga yang menderita diabetes mungkin merasa bisa bernasib sama. Masih banyak yang menganggap genetik penyakit akibat gula adalah takdir.

"Padahal tidak. Kita masih punya cara untuk mengatur bagaimana sifat diabetes atau genetik kanker apakah muncul atau tidak. Caranya dengan menonaktifkan gen diabetes," katanya.

Kurniawan menambahkan, yang bisa meminimalisasi kemungkinan diabetes mellitus adalah gula, yang bisa mengurangi risiko kanker adalah gula, dan yang bisa mengurangi kemungkinan stroke adalah gula. Artinya, konsumsi gula bisa dibatasi.

Lebih lanjut ia mengutip asosiasi jantung Amerika (American Heart Association) merekomendasikan batasan gula tambahan per hari yaitu 25 gram. Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan, konsumsi gula dibatasi sebanyak 50 gram per hari.

"Kalau buat anak-anak maksimal 5 persen dari asupan kalori harian boleh mendapatkan gula tambahan. Tidak boleh lebih dari itu," katanya.

Sementara anak-anak yang lebih besar usianya direkomendasikan bisa konsumsi gula maksimal 25 gram per hari. Ia menyebutkan rata-rata tambahan dalam gula berpemanis dalam kemasan sekitar 25 gram, ada yang lebih tinggi 36 hingga 40 gram per botol. Bahkan, ia mengakui banyaknya gula minuman jenis ini sudah dicantumkan di fakta nutrisi.

"Tetapi karena enak akhirnya tetap dibeli," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement