Al Wala’ Wal Bara’ dan Tuntunan Agama dalam Bersosialisasi Sesama Manusia
Red: Fernan Rahadi
Tuntunan agama Islam (ilustrasi) | Foto: republika
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Doktrin Al Wala’ Wal Bara’ akhir-akhir ini diembuskan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menggiring umat Islam pada pola keberagamaan eksklusif, reduktif, dan parsial. Seperti hanya berteman, bersaudara dan bergaul dengan yang seagama saja (wala’) dan membenci serta memusuhi orang lain/kelompok yang beda agama (bara’). Tetapi apakah ajaran islam mengajarkan demikian?
Direktur Eksekutif Center for Narrative Radicalism and Cyber Terrorism (CNRCT), Ayik Heriansyah turut mengungkapkan pandangannya terhadap doktrin Al Wala’ Wal Bara’ yang dianggapnya keliru dan menyebabkan prasangka buruk terhadap umat Islam yang dinilai eksklusif dan enggan membangun hubungan sosial dengan umat agama lainnya.
"Orang Islam itu boleh bergaul dengan siapa pun tanpa memandang SARA kecuali bergaul untuk yang bersifat maksiat, merusak atau menaggangu ketertiban masyarakat hingga stabilitas negara," ujar Ayik Heriansyah di Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Dirinya melanjutkan, dalam pandangan Islam menurutnya ada tiga tuntunan yang harus dipedomani dalam kehidupan sosial dan berbangsa. Pertama, tidak boleh berteman dengan memandang perbedaan suku, ras dan agama. Hal tersebut juga menurutnya termasuk kedalam syariat dalam bergaul.
"Kedua, bergaul itu tujuannya untuk kemaslahatan umat. Ketiga, harus ada akhlak. Akhlak ini tidak mengenal SARA juga. Berbuat baik tidak hanya kepada orang yang seagama, tapi kepada semua orang," jelasnya.
Pria yang juga mantan pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Bangka Belitung ini, juga menyinggung terkait doktrin keliru Al Wala’ Wal Bara’ yang kerap digunakan oleh kelompok radikal untuk menjadi justifikasi melakukan tindakan kekerasan. Doktrin ini diartikan dengan, umat hanya boleh bergaul dengan internal seagama dan didorong untuk membenci terhadap yang berbeda.
"Saya jelaskan dulu, Wala’ itu artinya kita harus setia, royal dengan orang orang se-aqidah, se-agama. Bara’, artinya berlepas diri, dari orang yang tidak se-aqidah, Nah permasalahannya, ketika istilah ini digunakan untuk masalah politik atau kenegaraan, disinilah mulai muncul permasalahan, salah penempatan," kata Ayik.
Pasalnya, ketika istilah tersebut masuk ke ranah publik bahkan kenegaraan maka akan menjadi masalah tersendiri, terlebih yang menjadi dasar negara sejatinya adalah konstitusi yang merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa. Sehingga menurut Ayik, sangatlah keliru ketika al wala’ wal bara’ dicampur adukkan dalam urusan publik, politik dan kenegaraan.
"Karena dalam sebuah negara keiamanan orang beragam, karena itu tidak bisa dijadikan sebagai dasar, dasar bernegara kita adalah konstitusi, sebagai hasil kesepakatan, kalau dalam agama islam kesepakatan itu sepanjang tidak bertentangan dengan agama maka wajib dijaga dan ditaati," ujar Ayik.
Pria yang menempuh pendidikannya Kajian Terorisme di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) ini, juga menyampaikan bahwa sejatinya konsep Al Wala’ Wal Bara’ sangat kontradiktif dengan konsep Islam yang rahmatan lil’alamin.
"Ini jelas bertentangan, mereka (kelompok radikal) salah menempatkan, yang benar adalah Ketika mereka tidak membawa konsep wal bara ke ranah publik, karena dalam Islam, kalau bergaul dalam ranah publik mengikuti syariah dan akhlak, bukan konsep Al Wala’ Wal Bara’," katanya.