Jumat 07 Oct 2022 10:29 WIB

Masih Dibayangi Inflasi, Nilai Tukar Rupiah Diproyeksi Melemah

Pakar yakini ketidakpastian suku bunga The Fed menekan nilai tukar rupiah hari ini

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Teller memegang mata uang Dolar AS dan Rupiah di sebuah tempat penukaran uang, Jakarta.  Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diproyeksi akan mengalami pelemahan pada hari ini, Jumat (7/10). Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan mata uang garuda kemungkinan akan berfluktuatif dan ditutup melemah di rentang Rp 15.170 - Rp 15.230.
Foto: ANTARA/Subur Atmamihardja
Teller memegang mata uang Dolar AS dan Rupiah di sebuah tempat penukaran uang, Jakarta. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diproyeksi akan mengalami pelemahan pada hari ini, Jumat (7/10). Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan mata uang garuda kemungkinan akan berfluktuatif dan ditutup melemah di rentang Rp 15.170 - Rp 15.230.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diproyeksi akan mengalami pelemahan pada hari ini, Jumat (7/10). Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan mata uang garuda kemungkinan akan berfluktuatif dan ditutup melemah di rentang Rp 15.170 - Rp 15.230.

Ibrahim menjelaskan, indeks dolar naik pada perdagangan Kamis, setelah seorang pejabat tinggi Federal Reserve memperingatkan bahwa bank sentral AS belum hampir mengakhiri siklus kenaikan suku bunganya.

Presiden Fed Atlanta Raphael Bostic mengatakan bahwa siklus pengetatan kebijakan AS masih dalam masa-masa awal. Bostic memperingatkan secara eksplisit agar tidak bertaruh pada perkiraan awal. 

Terlepas dari itu, Bostic mengatakan AS masih di bawah tekanan laju inflasi. Peringatan itu menjadi lebih penting setelah OPEC dan sekutunya terutama Rusia menjaga harga minyak tetap tinggi.

OPEC mengumumkan pemotongan besar dalam produksi mereka mulai bulan depan. Harga energi yang tinggi telah menjadi salah satu kekuatan terkuat yang mendorong gelombang inflasi global selama setahun terakhir.

Dari dalam negeri, pemerintah masih dapat membuka opsi untuk menambah defisit anggaran. Misalnya menjadi 2,9 atau bahkan 2,95 terhadap PDB, sehingga laju inflasi berpotensi meningkat pada Oktober 2021 sejalan dengan imbas dari kenaikan harga BBM. 

Hal ini berdampak terhadap laju inflasi pada September naik 1,17 persen month on month (mom). Ini merupakan rekor inflasi bulanan tertinggi sejak Desember 2014. Secara tahunan inflasi tercatat 5,95 persen year on year (yoy).

Ke depan, tekanan inflasi diperkirakan meningkat, akibat dampak lanjutan dari penyesuaian harga BBM bersubsidi, tekanan inflasi dari sisi permintaan yang tinggi, dan masih tingginya harga energi dan pangan global.

Merujuk ke data BPS, kenaikan BBM jenis pertalite merupakan penyulut utama inflasi dengan andil sebesar 0,89 persen terhadap inflasi September 2022. Penyebab berikutnya adalah tarif angkutan dalam kota 0,09 persen, solar 0,03 persen dan tarif angkutan antar kota dengan andil 0,03 persen.

Beberapa komoditas pangan, turut menyumbang inflasi di September, terutama komoditas cabai merah, telur ayam ras, minyak goreng, cabai rawit, hingga beras.Kabar baiknya, ada juga komoditas pangan yang menghambat inflasi bulan lalu. Misalnya bawang merah, meski andil deflasi hanya 0,05 persen.

Dengan berbagai perkembangan tersebut diperkirakan mendorong inflasi tahun 2022 melebihi batas atas sasaran 3 persen. Untuk itu, menurut Ibrahim, diperlukan sinergi kebijakan yang lebih untuk memastikan inflasi kembali ke sasarannya pada paruh kedua 2023.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement