Oleh: Faisal Assegaf, Jurnalis Senior Pengama Timur Tengah
Demonstrasi antirezim di Iran berlangsung hampir sebulan dan layak disebut sebagai sebuah revolusi karena anak-anak muda berunjuk rasa di jalan, kampus, dan bahkan sekolah tidak juga mengendur meski polisi antihuru hara, paramiliter Basij, dan pasukan khusus polisi bertindak keras. Korban tewas sudah seratusan.
Saya menyebut sebagai Revolusi Jilbab karena dipicu oleh penolakan terhadap kewajiban berjilbab di muka umum. Juga dipantik oleh kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi syariah di Ibu Kota Teheran lantaran berjilbab tidak semestinya bulan lalu.
Unjuk rasa antipenguasa ini akhirnya menuntut Republik Islam, dibentuk oleh pemimpin Revolusi Islam Ayatullah Khamenei sejak 1979, sulit dipadamkan karena merupakan gerakan akar rumput bukan elite.
Generasi muda, lelaki dan perempuan berumur belasan hingga 20-an serta 30-an tahun, ini lebih militan ketimbang pendahulu mereka. Mereka berani bertarung dengan pasukan keamanan dan menyerang balik ketika diserbu.
Perempuannya tidak takut berdarah atau mati dengan mencopot jilbab dan membakarnya di hadapan aparat keamanan. Simbol-simbol Republik Islam: foto, poster, dan patung Khomeini dan Ayatullah Ali Khamenei dirusak serta dibakar.
Pengunjuk rasa antirezim ini juga tidak mengandalkan figur. Ketika tokoh oposisi Faizah Rafsanjani, putri dari mantan Presiden Ali Akbar Rafsanjani, dan pesohor lainnya ditangkap, demonstrasi tidak padam.
Selain itu, demonstrasi berujung bentrok selalu terjadi saban hari di kota-kota utama di Iran: Teheran, Masyhad, Qom, Isfahan, Syiraz, dan Karaj.
Tiga provinsi dihuni gerakan separatis - Kurdistan, Khuzestan, serta Sistan dan Baluchistan - juga ikut menuntut rezim Mullah diganti.
Alhasil, jalan revolusi telah terbentang di Iran, persis seperti nama Jalan Revolusi di Teheran, tempat seorang perempuan mencopot jilbabnya sebagai penolakan secara terbuka terhadap keharusan berjilbab.
Tinggal waktu menjawab: apakah Revolusi Jilbab berhasil atau gagal meruntuhkan Republik Islam. Kalau berhasil, apakah dunia siap menerima dampak buruknya?