Pemberantasan Terorisme Butuh Kebijakan Menyeluruh
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Pemberantasan Terorisme Butuh Kebijakan Menyeluruh (ilustrasi). | Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
REPUBLIKA.CO.ID,BANTUL -- Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Paryanto mengatakan, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam gerakan ekstrimis dan teroris. Yang mana, mengancam keamanan dan kedaulatan.
Fenomena ini telah pula beberapa kali mengguncang negara. Aksi terorisme yang pernah jadi perhatian pada 2000, 2001 dan ketika terjadi peristiwa bom Bali. Ia menilai, kemiskinan merupakan salah satu faktor kemunculan gerakan terorisme.
"Munculnya gerakan terorisme disebabkan adanya faktor kondisi ketidakberdayaan pelaku dan tersumbat saluran ekspresi dan aktualisasi karena faktor kemiskinan, ketidakadilan sosial, ekonomi, politik dan tidak efektifnya manajemen publik," kata Paryanto saat menerima gelar doktoral di Pascasarjana UMY, Selasa (25/10).
Ia turut menyebut faktor kerentanan, baik dalam konteks kemungkinan keterlibatan sebagai pelaku maupun potensial jadi korban merupakan dampak terorisme. Paryanto melihat, kebijakan dalam penanggulangan terorisme dipetakan menjadi dua ranah.
Ada kebijakan penegakan hukum (hard approach) dan kebijakan berbasis ideologi (soft approach). Tapi, ia menyebut, pemerintah dengan segala kebijakan belum mampu menanggulangi gerakan terorisme, sehingga terorisme justru terus terjadi.
Pemerintah merespon problem terorisme dengan menggunakan pendekatan hukum dan pendekatan ideologi dalam implementasi kebijakan. Paryanto merasa, pemberantasan terorisme membutuhkan kebijakan yang menyeluruh dan ditopang dengan kesadaran.
Kesadaran untuk melihat fenomena terorisme dalam pandangan yang multiperspektif. Ia menilai, media massa turut memiliki peran penting menghadapi kasus ini. Dalam kasus terorisme, media massa berperan mengurangi ancaman melalui pemberitaan.
"Juga karena media massa merupakan alat dan instrumen strategis memproduksi dan menyebarkan ideologi, keyakinan, budaya dan nilai tertentu, termasuk nilai-nilai kedamaian," ujar Paryanto.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Keislaman Universitas Cokroaminoto Yogyakarta menerangkan, kebijakan penanggulangan terorisme antara 2009-2018 juga memiliki perbedaan. Perbedaan ini didasari pula oleh perbedaan latar belakang presiden.
Ia melihat, kebijakan penanggulangan terorisme era SBY maupun Jokowi didasari motif dan konteks masing-masing yang mengarah kewaspadaan bahaya terorisme. Kebijakan penanggulangan terorisme dominan terhadap pendekatan kekuasaan.
"Kebijakan penanggulangan terorisme periode 2009-2018 lebih dominan pendekatan kekuasaan dari pendekatan persuasif. Dominasi pendekatan kekuasaan mengindikasi implementasi kebijakan yang cenderung represif dan rendah akuntabilitas publik," kata Paryanto.