Sabtu 29 Oct 2022 10:48 WIB

Atur Skor, Politisasi, dan Tragedi: Sejarah KLB di PSSI

Sejak 2011, bisa dibilang atak ada pergantian ketua umum PSSI secara normal.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Partner
.
.

Mengingat popularitas olahraga bola sepak di Indonesia, tak heran posisi ketua umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) jadi kursi menggiurkan. Ia bahkan disebut punya kekuatan politik tersendiri. Tak heran, posisi itu kerap jadi rebutan berbagai pihak. Sejumlah KLB diwarnai konflik kepentingan ini, meski pada akarnya tetap saja kondisi carut-marut persepakbolaan Indonesia turut menjadi faktor.

Pada 2011, seruan KLB tak lepas dari stagnasi prestasi sepak bola Indonesia dan kesewenang-wenangan PSSI. Nurdin Halid yang merupakan ketua umum PSSI saat itu adalah juga seorang tersangka namun bisa tetap menjabat, bertentangan dengan aturan FIFA.

Sistem Liga Indonesia dibongkar pasang seenaknya skema kompetisinya. Tim yang sudah dipastikan terdegradasi, mislanya, bisa bertahan di divisi utama hanya dengan keputusan PSSI semata. Kondisi saat itu memicu dilahirkannya kompetisi tandingan. Di Indonesia kemudian berjalan dua kompetisi, yakni Liga Super Indonesia (LSI) dan Liga Primer Indonesia (LPI).

Galaran Piala AFF 2010 kemudian jadi penentu. Pecahnya kerusuhan ribuan pengantre tiket di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, pada 26 Desember 2010 membuat desakan mundur bagi Nurdin Halid mengemuka di jagad maya. Kegemilangan Timnas Indonesia di fase-fase awal kompetisi itu memunculkan euforia yang kemudian dipolitisasi petinggi PSSI dan pemerintah. Saat ternyata kemudian Timnas keok melawan Malaysia di laga final, kemarahan kian memuncak. Nurdin Halid jadi musuh masyarakat.