Soal Isu Ancaman PHK Besar- besaran, Ini Tanggapan KSPN Kabupaten Semarang
Rep: Bowo Pribadi/ Red: Muhammad Fakhruddin
Soal Isu Ancaman PHK Besar- besaran, Ini Tanggapan KSPN Kabupaten Semarang (ilustrasi). | Foto: republika
REPUBLIKA.CO.ID,UNGARAN -- Isu seputar acaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar- besaran di sektor industri tekstil dan garmen, ditanggapi oleh Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Kabupaten Semarang.
Sebab Kabupaten Semarang merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah industri manufaktur sektor tekstil dan garmen cukup banyak.
Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Kabupaten Semarang, Sumanta yang dikonfirmasi mengaku terus memantau isu terkait dengan ancaman PHK besar- besaran akibat situasi global yang sedang tidak menguntungkan tersebut.
Namun –sejauh ini—di Kabupaten Semarang belum ada laporan terkait adanya PHK maupun karyawan yang terdampak efisiensi, dari anggota konfederasi. “Khususnya di sektor tekstil dan garmen,” jelasnya, di Ungaran, Kabupaten Semarang, Kamis (10/11).
Kendati begitu, Sumanta tidak mengelak jika saat ini tanda- tanda dampak dari situasi global --yang sedang tidak baik- baik saja-- tersebutv sudah dirasakan oleh karyawan di sektor tekstil maupun garmen.
Misalnya perlambatan produksi di sejumlah perusahaan tekstil, garmen maupun sepatu akibat, dampak dari menurunnya permintaan untuk ekspor. “Terutama ke beberapa negara di Eropa dan Amerika,” jelasnya.
Di luar isu tersebut, lanjut Sumanta, DPD KSPN juga terus mencermati prediksi- prediksi yang mengaitkan keberlanjutan para karyawan dengan potensi resesi yang diperkirakan bakal terjadi di tahun 2023 nanti.
Untuk saat ini memang belum ada laporan terkait dampak bagi para karyawan atau pekerja, seperti penundaan upah, adanya karyawan yang dirumahkan atau bahkan di PHK. “Namun kami juga belum tahu, di akhir tahun nanti situasinya seperti apa,” tegasnya.
Sebab perusahaan sampai hari ini juga masih membayar gaji karyawan mereka dan belum ada keterlambatan. Kalaupun ada keterlambatan, batas waktunya hanya berlangsung sehari atau paling lama dua hari.
Namun jika situasi terburuk terjadi –misalnya-- opsi PHK, maka hal yang harus diperjuangkan adalah hak- hak normatif para pekerja. “Baik sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan maupun kesepakatan kerja dengan perusahaan,” tandas Sumanta.