Selasa 22 Nov 2022 08:19 WIB

Pejuang Lingkungan yang Menggerakkan Perempuan untuk Menjaga Leuser

Ada banyak kesempatan pembangunan ekonomi tanpa mengorbankan alam.

Rep: Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Aktivis dan pejuang lingkungan asal Kota Banda Aceh, Farwiza Farhan.
Foto: Dok pribadi
Aktivis dan pejuang lingkungan asal Kota Banda Aceh, Farwiza Farhan.

REPUBLIKA.CO.ID, Matanya menatap ke depan. Tubuhnya dalam posisi tegap, namun tetap terlihat anggun. Dia mengenakan setelan kain panjang berwarna merah dan hijau menutup tangan hingga kaki. Kain yang dibentangkan di belakang memantulkan cahaya. Dengan latar belakang pepohonan rimbun, mudah ditebak jika pengambilan foto dilakukan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Foto sampul Time edisi Oktober 2022 mengejutkan publik Tanah Air. Farwiza Farhan (36 tahun) terpilih sebagai kover majalah berpengaruh yang berbasis di New York City, Amerika Serikat (AS) tersebut. Di samping foto Farwiza, terdapat tulisan 'The World's Rising Stars'.

Bukan tanpa alasan jika foto Farwiza terpampang dan sosoknya dinobatkan masuk ke dalam daftar Time100 Next 2022. Latar belakangnya sebagai penjaga Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara (Sumut) menjadi penyebabnya. Kontribusnya dalam menjaga alam dianggap membawa dampak perubahan besar.

Aktivis dan pejuang lingkungan asal Kota Banda Aceh ini sudah belasan tahun bergelut dengan ekosistem Leuser. Keluar masuk hutan dan gunung sudah menjadi kegiatan biasa yang dijalaninya.

Sempat menjadi pegawai Badan Pengelola Ekosistem Leuser, ia memilih keluar untuk mendirikan Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA). Dengan bendera Yayasan HAkA, membuat Farwiza bisa mencurahkan seluruh waktu dan energi untuk kelestarian hutan dan lingkungan hidup.

"Saya dijadikan contoh nyata oleh Jane Goodall (penulis majalah Time) tentang sosok perempuan yang turut aktif menjaga alam dari penebangan pohon dan pembalakan liar, perburuan satwa-satwa penghuni ekosistem Leuser, hingga membentuk ikatan komunikasi dengan masyarakat," kata Farwiza saat berbincang dengan Republika.co.id di Jakarta, belum lama ini.

Farwiza menekankan, kerja-kerja nyata yang dilakukannya hingga mendapat pengakuan dari Time bukan dilakukan seorang diri. Pada kenyataannya, ia bekerja bersama, tidak hanya tim di Yayasan HAkA, melainkan juga dengan mitra dari kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berjuang bersisian, serta aktor lain yang aktif pula memperjuangkan perlindungan bagi KEL.

"Saya tak ingin terjadi misinterpretasi. Ini adalah apresiasi untuk semua yang sudah, terus dan akan menumpahkan cinta, waktu dan dedikasinya," kata Farwiza menegaskan.

Karakter Farwiza memang unik. Peraih master Manajemen Lingkungan di The University of Queensland Melbourne, Australia pada 2009, ini membuang jauh-jauh tujuan hidup banyak orang untuk bisa tinggal nyaman di negeri orang dengan pekerjaan mapan. Dia lebih menyukai tantangan.

Sempat bekerja di negeri Kanguru dengan pendapatan sangat mencukupi, Farwiza tetap tidak betah. Dia mengikuti panggilan hati kecilnya untuk pulang kampung. Farwiza lebih memilih untuk mengabdikan diri berkecimpung menjaga KEL.

Dia mengaku, memang memiliki kepedulian supaya ekosisten Leuser bisa tetap lestari dan dinikmati generasi berikutnya. Hal itu karena KEL menjadi rumah satu-satunya bagi orangutan, harimau, gajah, badak, dan sejumlah mamalia yang terancam punah.

Jika langkah pencegahan itu tidak kunjung dilakukan maka tinggal menunggu waktu saja alih fungsi hutan di tanah kelahirannya semakin masif. Konsekuensinya, ekosistem di dalamnya bisa ikut hilang. Proses panjang yang dijalani Farwiza bersama para rekannya membuat perubahan signifikan.

Dari hasil usaha bersama yang melibatkan banyak kalangan, kampanye yang digalang Farwiza berhasil mencegah kerusakan hutan lebih dari 5.000 hektare. Upaya untuk memperkuat perlindungan di tingkat tapak berbuah izin pengelolaan hutan desa di dua lokasi dengan total hampir 3.000 hektare, yang masih terus didampingi sampai sekarang.

Selain itu, puluhan, bahkan ratusan masyarakat yang menjadi mitra pernah menerima penguatan kapasitas melalui pelatihan pemetaan lewat aplikasi Global Forest Watch, paralegal dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Dia juga membuka ruang untuk masyarakat turut ambil andil dalam mengawasi kerusakan hutan.

Memberdayakan perempuan

Satu hal berbeda yang dilakukan Farwiza jika dibandingkan dengan pegiat lingkungan lainnya. Peraih doktor bidang antropologi di Universitas Amsterdam, Belanda, ini mencoba memberdayakan kaum perempuan dengan mengajak mereka ikut menjaga kelestarian hutan. Farwiza menggandeng para ibu-ibu menjadi ranger agar kasus pembabatan dan perusakan hutan bisa dicegah.

Dengan bendera Yayasan HAkA, Farwiza pun merasa perlu memberikan penekanan khusus bahwa penting bagi perempuan untuk turut mengambil peran dalam proses dan upaya pengelolaan lingkungan. Upaya mengajak kaum ibu-ibu terlibat pemberdayaan maka proses perlindungan kawasan bisa menjadi lebih efektif.

Menurut Farwiza, perempuan perlu mengeklaim haknya untuk turut mengambil keputusan yang akan berpengaruh pada penghidupannya. Perempuan mesti punya peran di semua sektor, termasuk dalam perlindungan alam. Dari berbagai data yang didapatnya, ketika perempuan mengambil peran maupun usaha apapun yang ingin dilakukan dalam hidup ini maka punya tingkat keberhasilan yang lebih tinggi.

"Ketika perempuan terlibat dalam resolusi konflik, proses perdamaian punya kemungkinan untuk 35 kali lebih besar untuk bertahan sampai 15 tahun atau lebih. Itu hasil penelitian Alaa Murabit (aktivis perempuan dan duta PBB) tahun 2019," kata peraih sarjana Biologi Kelautan Universitas Sains Malaysia ini.

Tidak hanya itu, Farwiza melanjutkan, keterlibatan perempuan dalam bisnis dan ekonomi mendorong pertumbuhan dan pembangunan yang lebih adil dan inklusif. Begitu juga dengan sektor lingkungan, sambung dia, perempuan menanggung beban terbesar ketika kerusakan lingkungan berujung pada bencana.

Atas dasar itulah, ia mendirikan ranger perempuan untuk menjaga wilayah Leuser agar ikut terlibat praktis dalam melestarikan lingkungan dan ekosistem di dalamnya. "Maka penting bagi perempuan untuk turut mengambil peran dalam proses untuk memutuskan upaya pengelolaan lingkungan," kata Farwiza.

Mengubah paradigma

Berstatus sebagai konservasionis hutan, menurut Farwiza, bukan pekerjaan mudah. Ada saja tantangan mengadang yang dihadapinya. Salah satunya adalah paradigma yang berkembang di benak masyarakat. Dia pun merasa perlu meluruskan anggapan yang sudah salah kaprah di masyarakat.

"Salah satu kendala adalah paradigma banyak orang, bahwa perlindungan lingkungan itu tugas aktivis lingkungan atau pemerintah saja, atau bahwa perlindungan hutan dan alam mengorbankan kesejahteraan masyarakat," kata Farwiza.

Menurut dia, pembangunan yang dijalankan pemerintah tidak harus dengan cara mengubah peruntukan hutan. Persoalan itu yang selama ini menjadi salah satu pemicu konflik di masyarakat. Atas dasar itu, Farwiza ingin agar paradigma pemerintah juga berubah dengan tidak menjadikan hutam dieksploitasi habis-habisan demi kepentingan ekonomi semata.

"Ada banyak kesempatan pembangunan ekonomi tanpa mengorbankan alam, dan kita semua menikmati jasa lingkungan seperti air dan udara bersih. Menjadikannya tanggung jawab bersama untuk melindunginya," kata Farwiza.

Selain bergelut di hutan, ia juga kerap berkampanye di luar negeri. Farwiza melalangbuana berpidato dari satu konferensi ke konferensi lainnya di berbagai negara. Satu pesan yang selalu disampaikannya; semuanya terkait isu lingkungan dan krisis iklim. Secara khusus, ia mengajak semua pihak untuk ikut merawat hutan, khusus di TNGL.

"Saya pernah menjadi salah satu pembicara di konferensi TEDxJakarta, WebSummit, WomenDeliver, One Young World, termasuk menjadi salah satu narasumber jarak jauh dalam TED Countdown 2021. Semua bentuk keterlibatan tersebut yang menjadi rekam jejak saya yang mendukung nominasinya dalam daftar Time100 Next 2022," kata Farwiza.

Jauh sebelum itu, nama Farwiza sudah mencuri perhatian masyarakat kala ditunjuk mendampingi aktor kenamaan Leonardo DiCaprio yang mengunjungi KEL pada medio 2016. Fotonya yang berbincang dengan pemain peran di film Titanic sambil memegang belai gajah Sumatra mendapat perhatian masyarakat dunia.

Atas kiprahnya sebagai penjaga hutan, konservasionis perempuan ini diganjar Pritzker Emerging Environmental Genius Award 2021 dari Institute of the Environment and Sustainability, Universitas California, Los Angeles (UCLA), AS. Tidak ketinggalan, Farwiza berpesan kepada anak muda untuk ikut menjaga lingkungan sekitar.

Menurut dia, sebuah ekosistem bisa berfungsi dengan baik, ketika keanekaragaman hayatinya terjaga. Hal itu karena setiap spesies memainkan peran penting yang sering kali tidak tergantikan. "Ketika kita kehilangan keanekaragaman hayati fungsi ekosistem pun menurun," ujarnya.

Demikian pula dengan ekosistem di masyarakat, semuanya memiliki peran yang berbeda-beda, karakter yang berbeda, serta sudut pandang yang tidak sama. Farwiza mengajak setiap anak muda untuk tidak takut dengan perbedaan, tetapi tidak pula perlu memaksakan keseragaman.

Jika seseorang merasa punya cara berpikir dan mimpi yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan, jangan takut untuk mengejar mimpi itu menjadi nyata. Ketika berjumpa dengan kesulitan dan kegagalan, dia berpesan, jangan langsung menyerah.

"Jika orang-orang terdekat tidak mendukung, ciptakan lingkaran-lingkaran baru yang diisi dengan orang-orang yang percaya pada mimpimu dan menginginkan yang terbaik untuk kamu,” kata Wiza, sapaan akrabnya menutup perbincangan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement