Oleh : Endro Yuwanto/Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Pada dekade 1980-an, lewat manga dan anime Captain Tsubasa karya Yoichi Takahashi, demam sepak bola sudah mulai diperkenalkan di Jepang. Mungkin kala itu banyak yang mencibir mimpi ketinggian Jepang lewat Captain Tsabasa soal bersaing dengan negara-negara raksasa sepak bola.
Dalam beberapa tahun lamanya, sepak bola adalah olahraga langka di Negara Sakura berbeda dengan sumo atau bisbol. Tak banyak orang yang memahami bahkan mencintai si kulit bundar. Untuk menjumpai orang Jepang yang menyukai bisbol sangatlah mudah ketika itu.
Prestasi Jepang dalam dunia sepak bola kala itu memang belum terlalu mengesankan. Sampai pada 1988, Jepang adalah anak bawang di dunia sepak bola. Sebelumnya, jangankan lolos ke Piala Dunia, masuk putaran final Piala Asia saja, Jepang belum pernah merasakan. Memang betul bahwa skuad Sakura pernah meraih medali perunggu di Olimpiade 1968, tetapi prestasi apik itu sama sekali tak mampu mengangkat kualitas persepakbolaan Jepang secara holistik.
Baca juga : Deschamps Singgung Peran Vital Mbappe dalam Kemenangan Prancis Atas Polandia
Captain Tsubasa, serial anime yang sudah beredar sejak tahun 1981 lewat majalah populer Shonen Manga Weekly Shonen Jump, menceritakan perjalanan karier seorang anak bernama Tsubasa Ozora. Dari pemain antar-SD sampai membela timnas Jepang dan bergabung dengan tim Catalonia, klub Barcelona versi Captain Tsubasa. Sementara rival sejak SD Tsubasa, Kojiro Hyuga, memilih merumput di tim Italia, yang mirip klub Juventus. Tsubasa lalu membela timnas Jepang untuk bersaing dengan tim langganan juara dunia, Jerman dan Brasil.
Komik Captain Tsubasa telah diterbitkan dalam beberapa seri seperti pada 1981-1988, 1994-1997, 2001-2004, dan 2010-2012, sampai seri terbarunya pada 2018 lalu. Setelah seri pertama selesai terbit, Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) serius mengembangkan bakat-bakat pemain muda mulai dari SD hingga SMA. Dengan membentuk kompetisi yang mulai dibenahi secara detail dan dibuat meriah, seperti tergambarkan pada serialnya.
Liga sepak bola di Jepang saat itu sudah ada dengan nama Japanese Football League (JFL). Kompetisi itu digelar secara semiprofesional sejak 1965. Saat itu, semua klub di Jepang dimiliki oleh perusahaan dan para pemainnya pun berstatus sebagai karyawan dari perusahaan pemilik klub.
Jepang juga sempat 'berguru' ke Indonesia untuk mengembangkan kompetisi sepak bola. Pada tahun 1979, delegasi Jepang berkunjung ke Indonesia untuk mempelajari kompetisi semi-profesional Liga Sepak Bola (Galatama).
Baca juga : Dapat Tawaran Bayaran Selangit dari Al Nassr, Ronaldo Belum Ambil Sikap
Pada 1988, mendiang Ricky Yakobi menjadi pemain sepak bola Indonesia pertama yang merumput di Liga Jepang bersama klub Matsushita. Kala itu, prestasi legenda striker Indonesia itu menjadi sebuah kebanggaan. Klub yang dulu dibela Ricky Yacobi kini sudah berganti nama menjadi Gamba Osaka.
Bagi para pengurus sepak bola Jepang, situasi klub di Jepang yang dimiliki oleh perusahaan dan para pemainnya berstatus sebagai karyawan perusahaan, tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, JFA mulai berbenah dan pembenahan itu dimulai dengan mengonsep segalanya dari awal. Akhirnya, sistem kompetisi yang tak menarik itu diubah. Dari yang awalnya perusahaan, basis klub-klub Jepang diubah menjadi kota, persis seperti di Eropa.
Untuk mewujudkan itu, pihak JFL membentuk sebuah komite khusus bernama Komite Revitalisasi. Para anggota komite ini bertugas untuk melakukan riset sedemikian rupa untuk mendongkrak animo masyarakat.
Hasil akhirnya adalah pembentukan J-League pada 1991. Di J-League, kompetisi yang awalnya bersifat semiprofesional diubah menjadi profesional. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya berstatus sebagai pemilik klub diubah fungsinya menjadi sponsor utama. Dana memang tetap mengalir dari korporasi-korporasi itu, tetapi alurnya yang diubah.
Baca juga : Mayoritas Fans Portugal Malah Minta Ronaldo Dicoret dari Starting Line-Up
Akhirnya, J-League pun dipentaskan untuk pertama kali pada 1993. Pada saat itu, dengan dukungan dana yang melimpah, klub-klub Jepang bisa mendatangkan bintang-bintang besar semacam Zico, Gary Lineker, dan Dragan Stojkovic. Warga Jepang yang tadinya tidak peduli dengan sepak bola dibangkitkan oleh rasa penasaran. Stadion-stadion pun kemudian mulai penuh. Episode sepak bola profesional yang sesungguhnya pun berjalan.
Beriringan dengan pembentukan liga sepak bola baru, JFA juga menelurkan 'Rencana 100 Tahun'. Rencana ini tidak main-main. Dalam 100 tahun, Jepang berniat untuk menjadi negara sepak bola terhebat di dunia. Yang menarik, rencana ini pun pada akhirnya tidak hanya pepesan kosong.
Jepang sadar bahwa sepak bola dimulai dari masa kanak-kanak. Untuk itu, Negeri Matahari Terbit ini kemudian menyusun program yang diterapkan di sekolah-sekolah. Persis seperti di serial Captain Tsubasa, sekolah-sekolah ini kemudian menjadi fondasi pengembangan sepak bola Jepang.