Pada umumnya orang Indonesia hanya mengenal Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri Susilo Bambang Yudhoyon dan Joko Widodo. Padahal masih ada dua lagi Presiden Indonesia dan jarang sekali disebut. Yaitu Sjafrudin Prawiranegara dan Mr. Assat.
Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten pada 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.
Di masa kecilnya akrab dengan panggilan "Kuding", dalam tubuh Sjafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri.
Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai Jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.
Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi, "Ingin menjadi orang besar," katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.
Soekarno-Hatta menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra. Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu-Kota Jogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".
Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi dikarenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu. Namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia. tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada.
Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki "Penyelamat Republik". Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri.
Meskipun istilah yang digunakan waktu itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan presiden. Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta.
Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Sjafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.
Pada peristiwa PRRI, akibat ketidakpuasan terhadap Pemerintah Pusat karena ketimpangan- ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh Partai Komunis Indonesia yang semakin menguat, pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah dan ia di tunjuk sebagai Ketuanya.
Pada akhir tahun 1967, setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Sjafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta.
"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah," ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu. Di tengah kesibukannya sebagai Mubalig, mantan Gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, Direktur Utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Sjafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Dalam satu kesempatan Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) meluncurkan buku biografi Mr Sjafruddin Prawiranegara, Presiden/Ketua PDRI. Menurut Ketua Panitia, Andi Mapetahang (AM) Fatwa, bahwasannya “Peringatan satu abad Sjafruddin Prawiranegara bertujuan agar rakyat Indonesia, utamanya kaum muda yang relatif tidak begitu mengenal sosok dan kiprahnya, menjadi lebih mengenal Sjafruddin sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan."
"Kami mengajak seluruh rakyat Indonesia agar berdamai dengan sejarah,” ujarnya, apalagi Pemerintah telah menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.
Kini Sjafruddin Prawiranegara sudah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, hal ini membuat kita terutama generasi muda berdosa jika tidak menghargai jasa-jasa beliau yang sangat penting berkenaan dengan penyelamatan Republik ini dari kekosongan kekuasaan. ***
Penulis: Hadi Nur Ramadhan | Founder Rumah Sejarah Indonesia dan Wakil Sekretaris LSBPI MUI Pusat.