REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Gubernur bank sentral Iran pada Sabtu (17/12/2022) menyalahkan kerusuhan anti-pemerintah atas jatuhnya mata uang Iran ke rekor terendah. Gubernur Bank Sentral Ali Salehabadi mengakui, peristiwa protes nasional dua bulan terakhir bersama dengan sanksi Amerika Serikat (AS) berkontribusi terhadap jatuhnya mata uang Iran.
Salehabadi menyarankan, dolar dapat disuntikkan ke pasar untuk menopang mata uang Iran yang bermasalah. "Untuk melakukan penyesuaian di pasar (valas), kami di Bank Sentral akan bertindak sebagai pembuat pasar dan sebagai pembuat kebijakan mata uang keras. Mata uang keras mana pun yang lebih diminati, kami akan menawarkannya di pasar," ujarnya kepada televisi pemerintah.
Mata uang Iran jatuh ke level terendah terhadap dolar AS pada Sabtu. Warga Iran yang putus asa karena krisis ekonomi memilih menguras tabungan mereka dan membeli dolar, mata uang keras lainnya, atau emas. Menurut situs valuta asing Bonbast.com, harga jual dolar di pasar tidak resmi senilai 395.600 real di pasar tidak resmi, naik dari 386.800 pada Jumat (16/12/2022).
Mata uang rial Iran kehilangan hampir 20 persen nilainya sejak protes nasional meletus tiga bulan lalu. Pada Mei 2018, mata uang diperdagangkan sekitar 65.000 per dolar AS, tepat sebelum Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran dengan kekuatan dunia dan menerapkan kembali sanksi terhadap negara tersebut.
Sebuah video yang dibagikan di Twitter oleh akun 1500tasvir menunjukkan, kerumunan orang memenuhi stasiun metro di Teheran pada Sabtu. Mereka meneriakkan, "Tahanan politik harus dibebaskan!"
Menurut kantor berita aktivis HRANA, 495 pengunjuk rasa telah tewas pada Jumat, termasuk 68 anak di bawah umur. Enam puluh dua anggota pasukan keamanan juga tewas. Sementara 18.450 orang diperkirakan telah ditangkap.
Kerusuhan ini merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahan teokratis di Iran sejak Revolusi Islam 1979. Aksi protes meluas ke kelompok pekerja minyak yang menuntut upah lebih tinggi.
Kerusuhan di Iran yang meluas dipicu oleh kematian seorang wanita Kurdi, Mahsa Amini (22 tahun) dalam tahanan pada 16 September. Amini ditangkap karena tidak menggunakan pakaian yang sesuai aturan negara.