REPUBLIKA.CO.ID, NATUNA -- Akibat cuaca buruk pada musim utara sebagian nelayan di Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, beralih profesi menjadi tukang bangunan, bertani dan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Saat ini sebagian ada yang menjadi tukang bangunan, serabutan gitulah, ada juga yang tetap memilih untuk melaut tetapi hanya di pesisir saja," kata Ketua Nelayan Desa Batu Gajah, Ramat di Desa Batu Gajah, Bunguran Timur, Natuna, Jumat (30/1/2022).
Ia memperkirakan aktivitas nelayan setempat akan kembali normal pada bulan Februari tahun depan karena telah masuk pada penghujung musim utara. "Pokoknya tiga bulan ini kami off (tidak melaut) tidak seperti biasanya yang sampai ke ZEE sana," ujarnya.
Ia juga mengatakan, karena yang melaut hanya nelayan tertentu dan pada saat tertentu saja berimbas tingginya harga ikan di pasaran lokal. "Biasa ikan tongkong yang harga 15 sampai 20 ribu per kilo saat ini tidak ada yang jual per kilo lagi, tetapi per ekor. Perbandingannya jika normal harganya 30 ribu per ekor, sekarang bisa mencapai 70 bahkan 80 ribu," katanya.
Selain harga tinggi, menurutnya saat ini ketersediaan stok ikan bagi kebutuhan lokal di daerah itu juga sudah terbatas dan hanya jenis ikan tertentu yang masih tersedia.
"Ikan Tuna kecil, Cakalang itu kalaupun ada sedikit, karena nelayan hanya bisa di pinggir, pergi pagi pulang siang, tidak bisa lama lama di laut," ujarnya.
Sementara untuk nelayan pesisir, kata Rahmat, mereka tetap melaut seperti biasa namun beralih pada alat tangkap seperti kelong, atau jaring dan itupun hanya daerah tertentu saja. "Ada yang pasang "Belat" (kelong) di pinggir bakau dekat dekat sini lah," katanya.
Kondisi seperti itu, menurut Rahmat berlangsung setiap tahun jika masuk musim utara, dan tidak jarang kebutuhan selama tiga bulan dibantu oleh pengepul untuk memenuhi kebutuhan mereka. "Selama tidak bisa melaut pandai pandai lah kita runding sama tauke (bos ikan) untuk berhutang atau bagaimana hingga nanti selesai musim utara baru kerja normal lagi," katanya.