REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Badan Energi Internasional (IEA) di Paris mengatakan dunia berada pada "era cerah industri baru" manufaktur teknologi energi bersih, yang nilainya akan naik tiga kali lipat pada 2030 dan menciptakan jutaan lapangan kerja. Dalam sebuah laporan, IEA memprediksi pasar global untuk teknologi utama yang diproduksi secara massal akan bernilai sekitar 650 miliar dolar AS (sekitar Rp 9,8 kuadriliun) per tahun pada akhir dekade ini.
Pasar global untuk teknologi utama, termasuk panel surya, turbin angin, baterai kendaraan listrik, pompa panas, dan elektroliser untuk hidrogen. Angka itu lebih dari tiga kali lipat dari level saat ini. Namun, IEA menekankan realisasi tergantung pada negara-negara yang sepenuhnya menerapkan janji energi dan iklim mereka.
IEA melaporkan bahwa pekerjaan terkait dalam manufaktur energi bersih akan meningkat lebih dari dua kali lipat dari enam juta menjadi hampir 14 juta pada 2030. "Dunia energi berada di awal era industri baru, era manufaktur teknologi energi bersih," kata IEA dilansir Japan Today, Ahad (15/1/2023).
Meski demikian, organisasi yang berbasis di Paris itu memperingatkan bahwa konsentrasi ekstraksi sumber daya dan manufaktur menimbulkan risiko pada rantai pasokan. Tiga negara menyumbang 70 persen dari kapasitas produksi untuk teknologi surya, angin, baterai, eletrolyser dan pompa panas, di mana China dominan dalam industri itu. Republik Demokratik Kongo menghasilkan lebih dari 70 persen kobalt dunia, dan tiga negara (Australia, Cile, dan China) menyumbang lebih dari 90 persen produksi litium global, atau sumber utama baterai kendaraan listrik.
Ketegangan rantai pasokan berisiko membuat transisi energi menjadi lebih sulit dan mahal. Pertama, kenaikan harga kobalt, litium, dan nikel pada 2022 menyebabkan kenaikan harga global baterai kendaraan listrik hampir 10 persen. Biaya membangun turbin angin di luar China juga merangkak naik setelah bertahun-tahun mengalami penurunan harga, sementara tren serupa memengaruhi panel surya.
Direktur eksekutif IEA Fatih Birol mendesak negara-negara untuk mendiversifikasi rantai pasokan, dengan mengutip ketergantungan Eropa pada gas Rusia sebagai contoh utama potensi gangguan yang disebabkan oleh ketergantungan yang berlebihan pada satu sumber perdagangan. "Seperti yang telah kita lihat dengan ketergantungan Eropa pada gas Rusia, ketika Anda terlalu bergantung pada satu perusahaan, satu negara, atau satu rute perdagangan, Anda berisiko membayar mahal jika ada gangguan," kata Birol.
Birol juga menekankan pentingnya kolaborasi internasional, karena tidak ada negara yang merupakan pusat energi. Jika negara-negara tidak bekerja sama, maka transisi energi akan lebih mahal dan lambat.