REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Made Mangku Pastika berpandangan tidak ada alasan Bali sampai kekurangan pangan dengan adanya sentuhan teknologi di sektor pertanian.
"Di dalam pekarangan, kita juga masih bisa bertani, tentu dengan teknologi. Contohnya saja untuk cabai, termasuk terong dan sayur-sayuran lainnya," kata Pastika saat melakukan panen cabai di Agro Learning Center di kawasan Cekomaria-Denpasar, Jumat (27/1/2023).
Panen cabai yang merupakan rangkaian kunjungan lapangan yang mengangkat tema "Optimalisasi Lahan Perkotaan Melalui Urban Farming" itu, Pastika memanen cabai bersama sejumlah ibu-ibu dan mahasiswa yang selama ini tekun di bidang pertanian.
Menurut dia, tanah-tanah di Bali juga masih cukup dikembangkan untuk pertanian. "Coba saja pergi ke luar sedikit dari Kota Denpasar, lahan-lahan masih agak luas. Termasuk di kota bisa dikembangkan urban farming," ujarnya.
Mantan Gubernur Bali itu menyebut dengan dukungan sentuhan teknologi, dari hasil menanam cabai dapat digunakan untuk menunjang kebutuhan sehari-hari.
"Jika untuk lahan seluas satu area saja kita bisa menanam lebih dari 400 pohon cabai dan setiap pohon menghasilkan 0,5 kilogram. Maka sudah dihasilkan 200 kilogram untuk sekali panen dan cabai bisa dipanen 5 hingga 7 kali," ucapnya.
Ia melanjutkan, anggaplah harga per kilogram Rp50 ribu, maka dalam sekali panen bisa mendapat Rp10 juta. Anggota Komite IV DPD RI ini menambahkan, dari pengalaman pandemi COVID-19 itu juga dapat dilihat bahwa ekonomi Bali begitu terpuruk karena sangat bergantung pada pariwisata.
"Kita harus belajar dari situ, apa yang kita pelajari dari situ bahwa kita harus punya alternatif selain pariwisata yang dapat menghidupi kita, yaitu pangan," katanya.
Semua orang, ujar Pastika, dalam kondisi ada pandemi COVID-19 atau tidak, mau ada perang atau tidak sudah tentu memerlukan makanan. Oleh karena itu, pangan harus dibenahi.
Khususnya soal komoditas cabai, tambah Pastika, tidak bisa dilepaskan dari makanan khas Bali yang terkenal dengan cita rasa pedasnya. Selain itu di Bali selama ini cabai kerap menjadi komoditas penyumbang inflasi.
"Apalagi di Bali kapan pernah berhenti memakai cabai? Pesannya, jadi mari kita hidupkan alternatif kegiatan apabila pariwisata itu anjlok. Kalau pariwisata tumbuh bagus, maka pertanian juga bagus karena bisa dijual untuk mendukung kegiatan pariwisata," katanya.
Sementara itu, Nyoman Baskara selaku penggagas dan Direktur Agro Learning Center mengatakan cabai yang dilakukan pemanenan itu bibitnya merupakan bantuan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Bali.
"Itu percontohan yang memang kami berikan perlakuan khusus. BI yang memberikan bibit, mulsa, dan bahan pupuknya. Tetapi kami dari ALC dengan dibantu sejumlah teman juga menambahkan pupuk cair sehingga membuat produktivitas dan pertumbuhannya berbeda," ucapnya.
Yang jelas, kata Baskara, cabai yang sudah siap panen tersebut sama sekali tidak menggunakan bahan kimia sama sekali. "Cabai sebagai komoditas strategis harus dikelola dengan intensif. Mulai dari penggunaan mulsa untuk menekan gulma, menjaga kelembapan dan mencegah penguapan dan sebagainya," ucapnya.
Di lahan ALC tersebut, Baskara menanam cabai sebanyak 450 pohon dan kini setelah tiga bulan sudah siap untuk dipanen. Panen bisa dilakukan 5-7 kali untuk setiap pohonnya.
Rata-rata setiap pohon dalam sekali panen itu produktivitasnya hingga 0,5 kilogram.