Surabaya Targetkan Bebas BAB Sembarangan pada 2023
Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
Kepala Dinkes Kota Surabaya, Nanik Sukristina. | Foto: Dok Pemkot Surabaya
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pemerintah Kota Surabaya menargetkan Kota Pahlawan bebas buang air besar sembarangan (BABS) pada 2023. Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Nanik Sukristina menjelaskan, dari 154 kelurahan di Surabaya, baru 128 atau sekitar 83,12 persen sudah berstatus bebas buang air besar sembarangan atau open defecation free (ODF).
Nanik pun mengaku, pihaknya terus melakukan edukasi atau penyuluhan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) kepada masyarakat. "Edukasi PHBS merupakan salah satu upaya dalam mengubah perilaku BABS pada masyarakat yang masih buang air besar sembarangan. Tujuannya adalah menuju perilaku masyarakat yang setop buang air besar sembarangan," kata Nanik, Jumat (10/2/2023).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro menjelaskan, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya terdapat 26 kelurahan yang berasal dari enam kecamatan di Kota Pahlawan belum berstatus ODF. Artinya, 25 kecamatan lainnya sudah berstatus ODF.
"Enam kecamatan ini kita kejar supaya bisa menjadi ODF. Informasi dari Dinkes ada sekitar 6.000 titik yang belum berstatus ODF. Saat ini, DLH sedang mengerjakan itu. Untuk bulan Januari 2023, kita sudah mengerjakan 714 jamban dan sudah selesai," kata Hebi.
Hebi melanjutkan, target pelaksanaan jamban sehat individu pada 2023 adalah sebanyak 8.000 titik. Karenanya, ia menargetkan pengerjaan setiap 1.000 jamban dapat diselesaikan dalam kurun waktu satu bulan. Ia mengaku, dalam sehari pihaknya mampu mengerjakan 30 hingga 40 jamban.
"Dalam prosesnya kami juga berkoordinasi dengan Dinkes Kota Surabaya, serta pihak kecamatan dan kelurahan. Melalui program jambanisasi ini, tentunya untuk menekan risiko penyakit pada kelompok rentan, serta untuk menjaga kebersihan lingkungan," ujarnya.
Hebi menjelaskan, terdapat beberapa evaluasi mengenai kendala yang dialami dalam program jambanisasi. Kendala non teknis adalah persoalan luas ukuran rumah. Hal ini menyebabkan para anggota keluarga harus mengungsi atau menginap sementara di Balai RW selama proses pengerjaan jamban. Kendala lainnya, sudah ada Water Closet (WC) atau toilet, namun saluran pembuangan kotoran tersebut langsung menuju ke sungai.
Sedangkan kendala pada sisi teknis adalah kekurangan tenaga pekerja untuk melakukan pengerjaan jambanisasi, hingga akses mobilisasi bahan material untuk pengerjaan. Sebab, terdapat kesulitan untuk membawa bahan material, yakni harus memasuki gang sempit yang berdampak pada pengangkutan bahan material.
"Namun secara keseluruhan, warga menyambut baik program atau pengerjaan jambanisasi untuk penerapan PHBS agar berstatus ODF. Karena program ini gratis, jadi warga tidak dipungut biaya sepeser pun," kata Hebi.