REPUBLIKA.CO.ID, MOGADISHU -- Bulan suci Ramadhan tahun ini bertepatan dengan rekor kekeringan terpanjang di Somalia. Saat matahari terbenam dan umat Islam di seluruh dunia berkumpul untuk berbuka puasa dengan makan malam yang berlimpah, Hadiiq Abdulle Mohamed dan keluarganya hanya memiliki air dan sedikit makanan yang tersedia.
Mohamed termasuk di antara lebih dari sejuta warga Somalia yang meninggalkan rumah untuk mencari bantuan. Dia dan suaminya serta enam anak mereka sekarang berlindung di salah satu kamp pengungsian di sekitar ibu kota Mogadishu.
Ramadhan membawa kenaikan harga pangan untuk negara yang sudah berjuang melawan inflasi. Negara ini terkena dampak dari invasi Rusia ke Ukraina ditambah dengan layunya tanaman lokal selama bertahun-tahun. Jutaan ternak yang menjadi pusat makanan telah mati.
Sekarang makanan semakin sulit didapat bagi mereka yang terlantar. Untuk Ramadhan, Mohamed dan keluarganya mengandalkan simpatisan untuk menyediakan makanan sehari-hari.
Mereka berbuka puasa dengan air dan potongan kurma, lalu sendok nasi. Akhirnya, mereka bisa makan dari sumbangan berupa nasi yang dimasak dengan daging campur, pisang yang diremukkan, dan sekantong plastik kecil berisi jus. Namun untuk mendapatkan tambahan makanan ini, Mohamed antre berjam-jam di bawah terik matahari.
"Saya ingat puasa Ramadhan yang kami lakukan di masa lalu ketika kami bisa menikmati makanan dan merasa sejahtera. Kami akan memerah susu kambing kami, memasak ugali (bubur jagung) dan sawi hijau dan minum air,” kata Mohamed.
Tapi, Mohamed sadar tahun ini keluarganya tinggal di kamp. "Tanpa plastik untuk melindungi kami dari hujan, tanpa makanan untuk dimakan, kehausan dan mengalami kekeringan," ujar perempuan itu.
Keluarga itu dulunya makmur dan memiliki lahan pertanian dan kambing di sebuah desa sekitar 140 kilometer di sebelah barat ibu kota Somalia. Sekarang mereka mencoba bertahan dari sedikit uang yang dihasilkan suaminya dengan membawa barang-barang di gerobak dorong. Namun harga sembako melambung tinggi, sehingga penghasilannya tidak lagi cukup untuk membeli beras seberat satu kilogram.
Negara Tanduk Afrika itu mengimpor sebagian besar makanannya, dari gandum yang ditanam di Ukraina hingga botol-botol Mountain Dew yang disimpan di beberapa toko berkilauan di Mogadishu. Sementara itu, harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng terus meningkat di beberapa bagian negara.
Bulan ini, pemantauan Program Pangan Dunia melaporkan, bahwa ketahanan rantai pasokan secara umum baik di Somalia. Namun lonjakan permintaan Ramadhan akan membuat kerugian bagi rumah tangga rentan yang bergantung pada pasar lokal.
“Kami benar-benar mengalami lonjakan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya,” kata dosen ekonomi di Somalia University Ahmed Khadar Abdi Jama.
“Setiap kali ada faktor eksternal yang dapat mengurangi pasokan makanan, seperti konflik Rusia-Ukraina, kemungkinan besar Somalia akan merasakan pasokan yang rendah," ujar Jama.
Satu kilogram daging unta yang harganya sekitar empat dolar AS sebelum bulan suci sekarang harganya sekitar enam dolar AS. Namun, Khadar memprediksi, inflasi ini akan mereda setelah bulan berakhir.
Dengan meningkatnya jumlah pengungsi Somalia akibat kekeringan, para imam masjid di Mogadishu memimpin upaya untuk mendorong orang kaya di kota dan orang lain yang mampu untuk bersimpati dengan orang miskin dan memberi dengan murah hati.
“Beberapa orang membutuhkan makanan untuk berbuka puasa. Tolong bantu mereka,” kata seorang imam masjid Sheikh Abdikarim Isse Ali.