MAGENTA -- Salah satu keterpelesetan dalam memaknai bulan suci Ramadhan yang sering melanda umat ini adalah kebiasaan begadang hingga larut malam di bulan suci itu, lalu tidur panjang di siang hari yang seharusnya penuh dengan kerja dan produktivitas.
Selain itu, juga bisa dengan melakukan ibadah sahur yang sebenarnya sunnah, namun menjadi berkurang keutamaannya karena dilakukannya kepagian. Sehingga ada jam-jam tidur malam yang hilang dan akibatnya pada siang hari masih harus ada 'balas dendam kesumat' yang harus dibayarkan, yaitu tidur siang panjang.
Di masjid-masjid, setelah sholat zhuhur begitu banyak jamaah yang menggeletakkan badannya di serambi masjid. "Saking banyaknya, mirip ikan asin yang lagi dijemur," ujar Ustadz Ahmad Sarwat dalam bukunya Ramadhan: Antara Syariah dan Tradisi terbitan Rumah Fiqih.
Alih-alih kembali ke tempat kerja, mereka lebih senang menghabiskan jam-jam produktifnya untuk tidur siang yang panjang. Seolah bulan Ramadhan dan ibadah puasa menjadi legalitas atas hal ini.
Memang benar Rasulullah SAW kerap melakukan qailulah, yaitu tidur siang sejenak. Tetapi tidur siang panjang tentu berbeda dengan sejenak. Bahkan istilah qailulah itu sendiri konon berasal dari qalil, yang artinya sedikit, sebentar, atau sejenak.
Sementara tidur siang di jam kerja, hingga sekian jam, apalagi memanfaatkan masjid kantor, dengan alasan ibadah atau 'balas dendam' karena malamnya aktif beribadah, tentu bukan tindakan bijak. Sebaliknya, menandakan pelakunya kurang memahami maqashid syariah dari ibadah bulan Ramadhan.