MAGENTA -- Hari ini, 144 tahun lalu lahir seorang wanita yang ketika dewasa mempunyai cita-cita besar. Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879.
Gelar Raden Ajeng alias R.A disematkan di depan namanya, karena Kartini masih keturunan bangsawan Jawa. RA Kartini adalah pelopor emansipasi wanita Indonesia. Berkat jasanya, kini wanita Indonesia tidak melulu hanya urusan sumur, kasur, dan dapur.
Ayah Kartini bernama Raden Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondro IV. Ibunya bernama M.A Ngasirah dari kalangan rakyat jelata. Ayah M.A Ngasirah adalah seorang kiai di Teluk Awur. Meskipun beda kasta, namun keduanya disatukan oleh cinta.
.
.
Meski Ngasirah sebagai istri pertama, tapi status itu tak membuatnya bisa menjadi istri utama. Sebabnya, aturan yang diterapkan Belanda mengharuskan seorang bupati harus memilih keluarga bangsawan juga sebagai pasangannya saat menikah.
Kartini adalah anak kelima dari 11 bersaudara saudara kandung dan tiri. Kartini merupakan anak perempuan tertua dari semua saudara sekandungnya. Karena kakeknya, Kartini memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah ELS (Europese Lagere School) saat usianya 12 tahun.
BACA JUGA: Mencari Teman Setia: Nasihat Buya Hamka dalam Pertemanan
Kartini menikah pada usia 24 tahun dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903. Sesuai dengan adat Jawa yang masih melekat, gelar bangsawan Raden Ajeng kemudian diganti menjadi Raden Ayu setelah menikah. Raden Ayu Kartini adalah istri keempat K.R.M Adipati yang saat itu menjabat Bupati Rembang.
K.R.M Adipati mendukung keinginan istrinya untuk mendirikan sekolah wanita. Keinginan Kartini pun semakin menguat terpatri dalam sanubarinya.
Ia tak dapat membendung lagi keinginan membebaskan para wanita. Kartini ingin perempuan di Hindia Belanda mendapat hak atas pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki.
Raden Ayu Kartini wafat di usia muda saat masih berumur 25 tahun. Ia wafat empat hari setelah melahirkan putra semata wayang, RM Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904.
Delapan tahun kemudian, tepat di tahun 1912, Sekolah Kartini dibangun oleh Yayasan Kartini di Semarang. Adalah keluarga Van Deventer, tokoh Politik Etis kala itu yang menggagas pembangunan sekolah tersebut. Tak butuh waktu lama sekolah Kartini tersebar sampai Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa daerah lain.
BACA JUGA: Pesan Buya Hamka: Jangan Buat Diri Merana karena Penyakit Jiwa
Tantangan Kartini Menjadi Vegetarian
Dikutip dari buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Masakan Indonesia yang ditulis oleh Fadly Rahman, Kartini memiliki impian membangun kursus-kursus keterampilan rumah tangga, meskipun dalan tradisi Jawa yang feodalistis hal ini mustahil terwujud. Tekadnya tersirat dalam surat Kartini kepada sahabatnya Rosa Abendanon tertanggal 15 Juli 1902.
"Kursus dalam ilmu kerumahtanggaan dan pekerjaan tangan pasti akan merupakan kegiatan yang mengasyikkan benar bagi perempuan Jawa. Bukankah hampir semua ibu bangsa Jawa, bercita-cita agar anak-anaknya yang perempuan kelak akan dapat memasak dan membuat pekerjaan tangan dengan baik sekali?"
Untuk mendukung cita-citanya Kartini sengaja menuliskan resep-resep masakannya dalam aksara Jawa agar kelak ia dan saudarinya dapat menularkan bakat memasaknya kepada kaum perempuan pribumi Jawa.
.
.
Ketika Kartini ingin menjadi seorang vegetarian, sahabat penanya Annie Glaser menentangnya. "Kamu mau mati?" kata Annie.
Tentu bagi seorang Eropa yang dikenal banyak memakan daging, Annie menganggap tidak makan daging akan melemahkan tubuh karena asupan protein dari sumber hewani, selain nabati, amatlah diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia.
BACA JUGA: Pernah Ditanya Soal Perbedaan Waktu Hari Raya, Ini Jawaban Buya Hamka
"Kami sekarang pantang makan daging. Sudah lama kami merencanakan itu dan bahkan beberapa tahun saya hanya makan tanaman saja, tetapi tidak cukup keberanian susila untuk bertahan. Vegetarisme itu doa tanpa kata kepada Yang Mahatinggi. Kami mohon izin kepada ibunda pantang makan daging, dan ibunda mengizinkan dengan senang hati, dengan ikhlas. Annie akan sangat marah, kalau dia mendengar tentang pantangan itu, dia selalu marah kalau kami membicarakan rencana kami untuk pantang makan daging. "Kamu mau mati?" tanyanya. Seolah-olah orang yang makan daging tidak mati." Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Buddha, dan itu sudah jadi alasan untuk pantang makan daging," isi surat Kartini kepada Abendanon tertanggal 27 Oktober 1902.
Menjadi "Anak Buddha" dan vegetarian adalah sebuah pengalaman ritual tersendiri bagi Kartini, sebab sebagai orang yang berasal dari lingkungan ningrat, sudah pasti Kartini tidak kekurangan makan enak. Kartini bahkan menyatakan, ibunda sangat memperhatikan makan anak-anaknya.
"Setiap hari kami mendengar beliau memberi perintah kepada koki untuk memasak makanan yang khusus bagi kami." (MHD)
BACA JUGA:
Dinasti Mesir Kuno Mana yang Memerintah Paling Lama?
Tak Punya Uang, Sukarno Lelang Peci Kesayangan untuk Bayar Zakat Fitrah
Sejarah Panjang Jalan Tol di Indonesia, dari Jagorawi Hingga Tol Bima
Kisah Soedirman: Guru SD yang Jadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat
On This Day: 10 April 1815, Gunung Tambora Meletus dan Mengubah Iklim Dunia