REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan berpendapat dampak risiko gagal bayar utang Amerika Serikat (AS) tidak akan berdampak signifikan terhadap Indonesia. Dia menjelaskan dampak dari potensi tersebut perlu ditinjau dari kondisi dependensi Indonesia terhadap AS.
"Dampak dari potensi kegagalan bayar utang ini sifatnya temporer, tidak akan berdampak sangat jauh karena yang diserang tentunya dari sektor keuangan," kata Abdul Manap dalam diskusi Indef yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin (8/5/2023).
Dari sektor perdagangan, Abdul Manap mengatakan potensi dampak yang muncul akan berasal dari permintaan ekspor impor oleh AS. Sebab, bila kesulitan membayar utang, maka ada kemungkinan AS akan mengurangi permintaan ekspor impor ke Indonesia.
Meski begitu, kontribusi ekspor impor AS terhadap Indonesia tak terlalu signifikan, yakni sebesar 9,22 persen untuk ekspor dan 4,79 persen untuk impor. Persentase tersebut masih jauh dari kontribusi ekspor impor negara-negara ASEAN yang sebesar 18,98 persen untuk ekspor dan 17,31 persen untuk impor.
Kemudian, dari sisi Penanaman Modal Asing (PMA), Abdul Manap menyebut porsi PMA AS di Indonesia hanya sebesar 6 persen pada 2022. Namun, lanjut Abdul Manap, pemerintah tetap perlu mewaspadai aspek PMA karena AS berinvestasi pada sektor-sektor strategis, khususnya energi.
Sektor berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah sektor moneter. Pengaruh gagal bayar utang AS pada sektor moneter Indonesia akan terlihat pada transmisi nilai tukar rupiah. Pasalnya, gejolak moneter umumnya menimbulkan capital outflow yang menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah sehingga dapat memengaruhi tingkat suku bunga.
Sektor terakhir adalah dari sisi fiskal. Menurut Abdul Manap, dampak potensi gagal bayar utang AS dapat memengaruhi imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN). Bila AS gagal bayar utang, nilai imbal hasil SBN akan meningkat, dan besaran biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk lelang SBN akan membesar.
"Tentu ini akan berpengaruh terhadap biaya cicilan dan pokok utang yang cenderung akan naik," jelas Abdul Manap.