Akan ada 42 jenis lomba (kelompok dan individu) dan 10 jenis atraksi budaya di Festival Egek I. Festival akan diadakan di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupatan Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, pada 5-8 Juni 2023. Selain itu, ada pula tiga jenis adopsi, yaitu adopsi untuk pohon, tukik penyu, dan terumbu karang.
Oohya! Baca juga ya:
Festival Egek, Nama Jakarta Melekat di Malaumkarta Bersama Um, Nama Pulau Tempat Tidur Kelelawar
Perahu Tradisional Moi akan Antar Tamu Penting Festival Egek ke Pulau Um di Malaumkarta Sorong
Festival Egek, Bandara DEO Sorong akan Gunakan Bahasa Moi untuk Pengumuman di Lingkungan Bandara
“Masyarakat adat Moi di lima kampung bergotong royong untuk mengadakan festival ini,” jelas Ketua Festival Egek I Tory Kalami di Jakarta, Selasa (23/5/2023) sore. Tory dan Kepala Kampung Malaumkarta Jefry Mobalen berada di Jakarta untuk pemaparan Festival Egek I di beberapa lembaga/kementerian dan kedutaan negara sahabat.
Egek merupakan hukum adat yang mengatur zona pemanfaatan ruang secara terbatas. Masyarakat adat Moi di Malaumkarta Raya –yang mencakup lima kampung: Malaumkarta, Suatolo, Suatut, Mibi, Malagufuk—memiliki tiga zona pemanfaatan ruang, yaitu zona Soo yang merupakan zona inti khusus, Kofok yang merupakan zona ini, dan Egek. Soo ditetapkan sebagai zona keramat tempat suci masyakarat adat yang tidak boleh diganggu, sedangkan Kofok merupakan zona lindung yang merupakan zona memiliki arefak budaya, juga tidak boleh diganggu.
Di zona Egek, pemanfaatan terbatas dilakukan dengan cara penentuan masa panen. Secara adat ditetapkanlah masa tutup egek dan masa buka egek. Selama tutup egek, tak yang boleh memanen hasil alam di wilayah egek. Misalnya, di wilayah Egek Laut, selama tutup egek tidak boleh memanen teripang, lobster dan siput lola. Tapi kini, siput juga sama sekali tidak boleh dipanen, baik di masa buka egek sekalipun.
Zona Egek di Malaumkarta Raya, menurut Tory, mencakup hutan, terdiri dari dusun (kebun) sagu, kolam ikan, kebun, taman burung, hutan damar; laut, terdiri dari jenis udang lobster,teripang, siput lola, penyu, dugong, karang laut, dan lamun laut; dan egek alat tangkap, berupa pelarangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Salah satu lomba yang akan diadakan di festival adalah lomba lempar undi. Undi adalah tombak dari kayu yang biasa dilempar untuk menangkap ikan. Selain itu ada pula lomba mengidentifikasi nama-nama burung, pohon/tanaman, dan sebagainya, dalam bahasa Moi. “Semoga dari lomba identifikasi ini berguna untuk penelitian lebih kanjut oleh lembaga-lembaga terkait,” jelas Tory.
Sedangkan untuk atraksi budaya, antara lain ada atraksi perahu tradisional Moi, atraksi nikah adat Moi, atraksi menokok sagu, atraksi pertukaran burung di Pulau Um. Pulau Um ketika siang menjadi tempat tidur kelelawar, malam menjadi tempat tidur burung camar. Menjelang petang, kelelawar akan meninggalkan pulau dan datang burung camar. Demikian pula, pagi menjelang terang akan datang kelelawar dan akan pergi burung camar.
Dukungan terus mengalir untuk pelaksanaan festival ini. Ada dari Yayasan Econusa dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Kemendikbudristek, Kemenparekraf, Kemenhub, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Unviversitas Cendrawasih, dan sebagainya. Dukungan dari Pemprov Papua Barat Daya dan Pemkab Sorong –dengan berbagai dinasnya—tentu saja sudah pasti, berupa perbaikan jalan, bedah rumah untuk pengadaan 60 kamar untuk menginap para tamu, penyiapan MCK, air bersih, jaringan internet, fasilitas kesehatan, penyediaan panggung utama. “Dari Bandara DEO Sorong ada dukungan area glamping dengan penyediaan 60 tenda dan angkutan dari bandara ke Malaumkarta pada hari pertama dan terakhir festival,” kata Tory.