Jumat 09 Jun 2023 19:10 WIB

Hutan Wakaf dan Harapan Hutan Abadi

Wakaf menjadi bagian dari ijtihad anak bangsa untuk melestarikan hutan.

Hutan wakaf bisa menjadi sebuah terobosan dalam pelestarian lingkungan.
Foto: Republik/Muhammad Rizki Triyana
Hutan wakaf bisa menjadi sebuah terobosan dalam pelestarian lingkungan.

Oleh : Achmad Syalaby Ichsan, Jurnalis Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Tanggal merah di kalender pada awal Juni ini menjadi momentum pembuktian kami untuk healing sejenak ke Desa Cibunian, Bogor, Jawa Barat. Rencana plesiran kami dari Warung Buncit 37 sudah diagendakan sejak awal Syawal. Setelah ditunda beberapa kali, kami pun beranjak untuk menjenguk dan menikmati apa yang disebut sebagai hutan wakaf.

Traveling malam selepas Isya berjalan lancar. Kami sampai di Hutan Wakaf 3 sekitar pukuL 00.30 WIB. Dua bocah kecil, Muaz dan Fatih, terlelap setelah kecapekan menempuh perjalanan berkisar tiga jam. Lelah  kami terbayar selepas menjalankan ibadah shalat Subuh. Matahari terbit dari timur Gunung Salak mewarnai langit menjadi keemasan. Indahnya sun rise membuat kami berdoa agar waktu bisa berhenti sejenak. Kami ingin menikmati sang surya lebih lama.

Perjalanan kami pun berlanjut ke Hutan Wakaf 1. Kami  menumpang mobil bak kuning untuk sampai ke lokasi. Jembatan yang sedang diperbaiki membuat kami harus menggunakan jasa mobil pick up sewaan. Jalan berbatu yang kami tempuh terbilang menantang. Manuver sopir membuat kami harus enjot-enjotan di belakang. Tentu perjalanan ini tak lepas dari pemandangan ajaib khas pedesaan yakni sawah, sungai dan pegunungan.

Di tengah perjalanan, kami menyaksikan beberapa titik cokelat di hulu. Titik-titik tersebut menjadi penanda longsoran tanah di desa yang berstatus zona merah.  Bencana tersebut baru terjadi tahun lalu. Pada 22 Juni 2022, longsor besar menimpa Desa Cibunian dan sekitarnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, tiga korban tewas sedangkan satu lainnya hilang.

Salah satu korban merupakan istri dari anggota hutan wakaf yang kebetulan sedang berada di rumah saat bencana terjadi. Ada sebanyak 395 warga harus mengungsi. Tanah longsor disertai banjir itu juga menyebabkan ratusan rumah rusak. Infrastruktur desa seperti jembatan putus sedangkan jalan tertutup.

Kecamatan Pamijahan, wilayah administratif dimana Desa Cibunian berlokasi memang termasuk dalam zona merah. Jurnal Geografi Gea Vol 19 Tahun 2019 pernah mencatat kecamatan dengan 15 desa itu memiliki area rawan longsor hingga  10.624 hektare (76,20 persen). Dari tiga kategori kerawanan, sebagian Desa Cibunian berstatus sangat rawan longsor.

Jenis tanah, penggunaan lahan yang didominasi perkebunan, sawah dan permukiman, hingga kondisi lereng yang curam merupakan beberapa faktor rawannya wilayah itu terhadap bencana. Tingginya curah hujan yang rata-rata mencapai 363,166 mm per tahun menjadi faktor tambahan. Tidak heran, jurnal tersebut merekomendasikan adanya penanaman vegetasi keras (pohon) dengan akar kuat yang sesuai dengan kondisi fisik wilayah di Pamijahan.

Inisiasi hutan wakaf di Cibunian pun bak asam dan garam yang berjumpa di belanga. Muhammad Khalifah Ali, seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) menggagas konsep hutan wakaf sebagai solusi bencana hidrometeorologi yang terus terjadi di Indonesia. Secara sederhana, Khalifah menjelaskan jika hutan wakaf adalah hutan yang dibangun di atas tanah wakaf. Hutan yang sebelumnya dimiliki individu atau lembaga dibeli dengan dana wakaf untuk kemudian diwakafkan.

Kepemilikannya  berpindah dari milik pribadi (wakif) menjadi kepunyaan Allah SWT. Aset ini lantas dikelola demi kepentingan mauquf alaih, penerima manfaat atas pengelolaan wakaf. Dalam konteks hutan wakaf, penerima manfaat ini didefinisikan sebagai kepentingan umum.

Dalam Buku Pintar Wakaf yang diterbitkan Badan Wakaf Indonesia (BWI), wakaf  berasal dari kata waqafayaqifu-waqfan, yang berarti berhenti atau menahan. Menurut istilah (fikih), wakaf adalah menahan pokok harta benda wakaf dan menyalurkan manfaat atau hasilnya. Di Indonesia, wakaf sudah diatur dalam UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Konsep wakaf diajarkan langsung Rasulullah SAW manakala nabi menjawab pertanyaan Umar bin Khattab mengenai kebunnya di Khaibar, sebuah oase yang terletak sekitar 150 km sebelah utara Madinah. Dia bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya daripadanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya?” Rasulullah bersabda, “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaatnya.”

Umar pun turut. Hasil kelola kebunnya digunakan untuk menyedekahkan fakir miskin, keluarga, memerdekakan budak, untuk orang yang berjihad di jalan Allah, musafir dan para tamu. Manfaatnya boleh digunakan dengan jalan yang sesuai akan tetapi asetnya tidak boleh berpindah tangan. Setelah diwakafkan, kepemilikan aset tersebut dikembalikan kepada Allah untuk dimanfaatkan bagi umat. Berdasarkan riwayat, banyak sahabat yang mengikuti jejak Umar untuk mewakafkan asetnya setelah Umar berikrar.

Masih pada era yang sama, Utsman bin Affan juga mewakafkan sumurnya yang dibeli dari orang Yahudi. Hasil dari sumur tersebut kemudian dikembangkan menjadi kebun kurma. Pengembangan kebun kurma itu bahkan saat ini bisa dilihat dalam wujud hotel Waqf Othman bin Affan di Madinah.

Lewat konsep wakaf, Khalifah menggalang dana untuk memperbanyak lahan wakaf yang dijadikan hutan. Dia mengajak partisipasi warga dan stakeholder lainnya seperti pemerintah dan lembaga filantropi untuk mengembangkan hutan wakaf. Hingga kini, ada tiga zona dan lima bidang lahan yang sudah berhasil dibebaskan dan dikelola menjadi hutan. Jika ditotal, luas lima hutan wakaf di Desa Cibunian mencapai sekitar 1 hektare. Di hutan-hutan mini tersebut, Khalifah bersinergi dengan Baznas dan Kementerian Agama (Kemenag) untuk membuat ekowisata.

Wakaf menjadi bagian dari ijtihad anak bangsa untuk melestarikan hutan. Terlebih, data dari Global Forest Watch menunjukkan jika Indonesia telah kehilangan 9,95 juta hektare hutan primer basah dalam kurun waktu 2002 hingga 2021. Dengan berwakaf, kita pun bisa ikut ambil bagian membebaskan lahan untuk dijadikan hutan yang kemudian dikelola sebagai tujuan ekowisata. Agaknya, Hari Lingkungan Hidup Sedunia setiap 5 Juni ini  menjadi pengingat betapa pentingnya membangun hutan yang lebih abadi. Agar bisa dinikmati generasi selanjutnya seperti Muaz dan Fatih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement