Rabu 07 Jun 2023 04:30 WIB

Memupuk Lagi Kepercayaan pada Bank Syariah

Bank Syariah wajib digital, harus mudah dan cepat.

Bank Syariah Indonesia (BSI) harus melakukan perbaikan IT untuk menjaga kepercayaan nasabah. Foto LockBit ransomware (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Bank Syariah Indonesia (BSI) harus melakukan perbaikan IT untuk menjaga kepercayaan nasabah. Foto LockBit ransomware (ilustrasi).

Oleh : Lida Puspaningtyas, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak Bank Syariah Indonesia (BSI) kena masalah serangan siber, risiko citra akhirnya teruji. Sebagai bank terbesar di Indonesia, BSI adalah ikon bank syariah. Saat BSI bermasalah maka seluruh industri kena imbasnya.

Teringat seorang teman yang bekerja di sebuah bank syariah mendapat telepon protes dan komplain ketika BSI gangguan. Padahal ia bukan karyawan BSI. Ini karena bagi masyarakat awam, bank syariah itu BSI.

Harus diakui, digitalisasi adalah 'barang baru' bagi bank syariah. Biaya adopsi yang sangat tinggi sering kali jadi alasan kenapa teknologi bank syariah tertinggal dari bank konvensional. Untuk sekedar layanan dasar ritel saja, bank syariah baru bisa mengejar sekarang-sekarang ini.

Itu pun banyak mendapat bantuan, entah dari induk, entah melalui akuisisi fintech, merger, dan lainnya. Bank syariah tidak punya pilihan lain, kalau mau dilirik, ya harus digital, harus mudah dan cepat. Adopsi yang terseok-seok ini, akhirnya mendapat ujian besar pertamanya.

Digital memang membuat aktivitas perbankan jadi sangat praktis. Tapi tentu, kemudahan hanya dalam genggaman punya biaya mahal. Risiko keamanan dipertaruhkan. Dari kejadian yang menimpa BSI, industri bank syariah harus membayar mahal.

Tapi tidak apa-apa, berkat kejadian ini seluruh industri juga belajar hikmah yang sangat besar. Pelajaran itu harus ditanamkan dalam-dalam, dievaluasi, dan diperbaiki, agar masyarakat tidak harus mengalami hal yang sama di bank syariah lainnya.

Kita tidak ingin pengguna bank syariah ramai-ramai mengalihkan asetnya ke bank konvensional

Pengamat Ekonomi Syariah FEB UI, Fauziah Rizki mengatakan isu safety memang sangat krusial bagi hidup matinya perbankan. Menurut Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)-nya Amerika, ada beberapa penyebab utama kegagalan bank.

Mulai dari kurangnya modal, likuiditas, keamanan dan soundness, dan fraud. Kegagalan bank berisiko berdampak ke bank run atau rush money. Kemarin, BSI sudah mengalami isu di safety, yang tentu akan berisiko berdampak pada fraud jika tidak segera ditangani.

"BSI perlu sangat sangat memperbaiki crisis management-nya. Penanganan komunikasi ke publik harus jauh lebih cepat dan tepat, selain juga investigasi internal yang terus berjalan," katanya pada Republika, beberapa waktu lalu.

BSI wajib buktikan kekuatan aset dan modal yang selama ini selalu digadang-gadangkan sebagai bank terbesar ketujuh di Indonesia, sebagai bank syariah dengan modal terbesar di Indonesia. Tunjukkan taringnya.

Terkait apakah sudah terjadi panic-driven bank run? Fauziah mengatakan Bank Indonesia memiliki data dari Laporan Harian Bank Umum (LHBU) yang disubmit oleh BSI akan terlihat apakah Dana Pihak Ketiga (DPK) berkurang signifikan sebelum dan selama krisis yang terjadi saat ini.

"Dapat juga dilihat apakah ada kenaikan signifikan di DPK bank-bank lain sebagai dana pindahan dari BSI," katanya.

Apalagi beberapa lembaga atau institusi juga sudah berencana untuk memindahkan dana yang tidak kecil dari BSI ke bank lain, syariah ataupun konvensional. Fauziah melanjutkan, mayoritas masa gajian pegawai di Indonesia adalah tanggal 25-30.

Jika saja kemarin BSI tidak cepat menyelesaikan cyber attack ini, risiko bank rush tentu akan meningkat tajam. Selain juga menzalimi masyarakat yang tidak dapat menerima gaji hanya karena bank failure. Alhamdulillah, hal itu tidak terjadi. Payroll BSI bisa tetap gajian.

Setelah kejadian yang cukup fatal ini, ternyata, BSI merombak susunan direktur. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 27 Maret lalu, BSI menunjuk Direktur IT baru yang ditarik dari bank induk, Bank Mandiri. Direktur Risk Management juga baru.

Saya melihat itu sebagai sebuah upaya untuk mengembalikan kembali kepercayaan publik. Sebuah langkah profesional yang perlu dipupuk, dan menjadi culture di bank syariah.

Jika menarik benang ke belakang, Pengamat Ekonomi Syariah FEB UI, Ronald Rulindo mengatakan sebenarnya kritik ke sistem teknologi BSI sudah ada sejak dari awal berdiri. Namun, karena masih sibuk merger, sistem IT ini belum terpegang secara utuh.

"Walaupun IT ini zaman sekarang harusnya prioritas. Memang dari dulu komplen ke bank syariah kan sudah banyak. Bukan hanya dari nasabah bahkan juga dari pemerintah. Tapi bank syariah di Indonesia ini kurang responsif, relatif lambat, dan lain-lain," katanya.

Kalau dulu, tambah Ronald, sering disampaikan bahwa masalahnya ada di kualitas SDM. Padahal sebenarnya SDM perbankan syariah sekarang sudah bagus- bagus, apalagi dengan adanya BSI ini. SDM syariah terakselerasi signifikan karena ada tempat bernaung yang besar dan mumpuni.

"Hanya saja culture lama mungkin masih belum hilang. Ketika dulunya katanya banyak pegawai bank syariah itu adalah buangan induk, atau hanya cari peluang naik pangkat ketika di bank induk tidak ada posisi. Asumsikan jika alasan alasan yang sering disebutkan ini benar, inilah yang membuat budaya bank syariah menjadi lamban," katanya.

Untuk skala bank syariah yang masih di bawah Rp 10 triliun mungkin stigma ini masih tidak masalah. Tapi kalau skala ekonominya sudah Rp 200 triliun, seharusnya budayanya juga berubah.

Ronald mengatakan isu kultur ini mau tak mau harus diangkat ke permukaan juga. Karena selain urusan pada pertanggungjawaban, sharia concern yang juga kurang memuaskan, risk culture juga perlu ditingkatkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement