Senin 19 Jun 2023 15:26 WIB

Rektor UII: Resiliensi Siber Semakin Mendesak dan Relevan

Ragam serangan siber juga berkembang dari waktu ke waktu.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Yusuf Assidiq
Rektor UII, Fathul Wahid (tengah)
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Rektor UII, Fathul Wahid (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Seminar dan Workshop 'Yogyakarta Cyber Resilience 2023'. Dalam sambutannya, Rektor UII, Fathul Wahid mengatakan, transformasi digital yang dijalankan UII dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan pengalaman berharga dan kesadaran baru terkait pentingnya untuk menaruh perhatian kepada resiliensi siber (cyber resilience).

"Transformasi digital yang semakin masif telah menjadikan resiliensi siber semakin mendesak dan relevan. Ancaman siber yang terus berkembang secara konstan mengharuskan kita untuk memahami dan menghadapinya dengan kesiapan dan ketahanan yang tepat," kata Fathul, Senin (19/6/2023).

Secara umum, dia menjelaskan, resiliensi siber adalah kemampuan suatu organisasi atau sistem untuk bertahan dari serangan siber, mengatasi dampaknya, dan pulih dengan cepat setelah terjadi insiden keamanan. Ini melibatkan serangkaian tindakan proaktif dan responsif yang melibatkan kebijakan, praktik, dan teknologi yang tepat untuk melindungi sistem, data, dan infrastruktur yang terkait.

Menurut dia, dampak dari serangan siber tidak hanya terkait dengan infrastruktur yang tidak berjalan seperti seharusnya, tetapi lebih jauh dibandingkan dengan itu. Reputasi organisasi dapat runtuh dalam waktu sekejap.

"Reputasi yang tercoreng berdampak kepada kepercayaan publik yang semakin turun. Memperbaiki kepercayaan publik bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Tentu, semua sepakat bahwa hal ini merupakan kerugian yang sangat besar, meski tidak mudah dikuantifikasikan. Karenanya, dalam kondisi seperti ini, penting bagi kita untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip resiliensi siber," katanya.

Fathul mengatakan, ada banyak aspek yang terkait dan penting untuk dikaji dan didiskusikan, termasuk penerapan kebijakan keamanan yang kuat, pelatihan pegawai tentang praktik keamanan siber, dan pengujian kelemahan sistem. Selain itu, pemantauan keamanan secara proaktif dapat membantu mendeteksi ancaman sebelum terjadi.

Kemudian aspek lain adalah terkait dengan respons yang efektif dalam menghadapi serangan siber. Menurut dia, diperlukan perencanaan dan persiapan yang matang.

Ia menilai organisasi harus memiliki rencana respons insiden dan, jika dimungkinkan, mengadakan latihan simulasi secara berkala. Pemulihan yang cepat dan efisien setelah serangan adalah kunci untuk meminimalkan dampaknya.

"Ragam serangan siber juga berkembang dari waktu ke waktu. Karenanya, organisasi juga harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan keamanan yang cepat. Organisasi harus awas dengan tren baru dalam serangan siber," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement