Jumat 22 Sep 2023 12:12 WIB

Pemanasan Global Bisa Buat Banjir Libya Lebih Sering Terjadi

Suhu panas bumi membuat curah hujan di Libya 50 kali lebih lebat.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Jalan-jalan terendam banjir setelah badai Daniel di Marj, Libya.
Foto: Libya Almasar TV via AP
Jalan-jalan terendam banjir setelah badai Daniel di Marj, Libya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemanasan global bisa menyebabkan curah hujan yang lebih tinggi serta banjir lebih parah dan menghancurkan seperti yang terjadi di Kota Derna, Libya Timur. Hal ini merujuk pada studi yang dirilis oleh World Weather Attribution.

Studi ini mengatakan bahwa suhu bumi yang lebih hangat membuat curah hujan di Libya 50 kali lebih lebat sehingga mengubah cuaca ekstrem menjadi bencana kemanusiaan.

Baca Juga

Badai Daniel yang menghantam negara Afrika Utara tersebut pada 10 September, menghancurkan infrastruktur dan menewaskan sedikitnya 3.300 orang. Ribuan orang lainnya masih dinyatakan hilang dan jumlah korban jiwa kemungkinan besar akan meningkat secara dramatis.

“Jumlah hujan yang turun di Libya jauh di luar prediksi dan kejadian yang pernah tercatat sebelumnya. Hujan yang turun di Libya mencapai 50 persen lebih banyak dibandingkan dengan hujan yang turun di dunia di mana manusia tidak mengubah iklim,” demikian laporan World Weather Attribution seperti dilansir The New Arab, Jumat (21/9/2023).

Suhu global telah meningkat 1,2 derajat Celsius sejak paruh kedua abad ke-19. Sementara itu, udara yang lebih panas dapat menahan lebih banyak uap air hingga kemudian melepaskan lebih banyak hujan. 

Badai ini juga menewaskan orang-orang di Turki, Bulgaria dan Yunani, yang juga mengalami curah hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada awal September. Yunani juga diguncang oleh badai Lanos yang menghantam awal pekan ini dan menewaskan sedikitnya empat orang. 

Studi ini juga menekankan bahwa aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, pembangunan rumah di dataran banjir, dan kurangnya pemeliharaan bendungan juga berkontribusi terhadap kerusakan di Libya.

“Meskipun perubahan iklim dapat dilihat sebagai penyebab utama dari bencana yang terjadi baru-baru ini, dampaknya diperparah oleh pengelolaan lanskap yang tidak memiliki tindakan pencegahan yang memadai,” kata ahli ekologi, Enrique Doblas.

Di Derna, dua bendungan yang sudah tua di kota tersebut runtuh setelah bencana sehingga memperparah kerusakan yang terjadi. Bendungan Mansour dan Belad melepaskan sekitar 30 juta meter kubik air, menyebabkan kematian dan pengungsian ribuan orang.

Bendungan yang dibangun antara 1973 dan 1977 tidak dibangun dengan mempertimbangkan curah hujan yang tinggi. Keretakan pada bendungan mulai terlihat sejak tahun 1980-an dengan ketidakstabilan politik di Libya yang sebagian besar disalahkan atas kelalaian mereka selama dekade terakhir

Menteri penerbangan Libya Hisham Chkiouat mengatakan bahwa hampir seperempat kota telah lumpuh akibat banjir bandang yang dahsyat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement