REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Biaya tenaga surya telah turun sebesar 87 persen dan penyimpanan baterai turun sebesar 85 persen dalam satu dekade terakhir. Hal ini diungkap oleh sebuah studi dari Mercator Research Institute on Global Commons and Climate Change (MCC) yang berbasis di Berlin, Jerman.
Studi yang diterbitkan di jurnal Energy Research & Social Science, membandingkan temuan-temuan yang sesuai dari laporan inovasi dengan skenario berbasis model standar tentang transisi iklim. Para peneliti menemukan bahwa meskipun penggunaan bahan bakar fosil dan biomassa masih akan terus berlanjut dalam waktu dekat, clean energy pada akhirnya akan mengubah permainan energi.
Studi ini berfokus pada penyimpanan tenaga surya dan baterai, tetapi para peneliti mencatat bahwa tenaga angin, heat pump, dan teknologi bersih lainnya juga mengalami penurunan harga yang tajam. Kemajuan teknologi membuat penyimpanan tenaga surya dan baterai menjadi lebih cerdas dan efisien.
Secara global, produksi komponen tenaga surya dan penyimpanan baterai ditingkatkan secara komersial, dan hal ini didorong oleh dukungan keuangan swasta dan publik serta dukungan kebijakan pemerintah dalam menanggapi upaya global untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius. Dan sebagai hasilnya, skala ekonomi industri energi bersih menyebabkan harga-harga turun.
Ketika clean energy digunakan, harga listrik juga bisa turun. Peneliti utama studi, Felix Creutzig, mengatakan bahwa seluruh konsumsi energi dunia pada tahun 2050 dapat dipenuhi sepenuhnya dengan biaya yang efektif oleh teknologi tenaga surya dan energi terbarukan lainnya.
“Ini adalah skenario yang sangat optimistis, namun menggambarkan bahwa masa depan masih terbuka. Ilmu iklim, yang memberikan panduan bagi para pembuat kebijakan dalam model-model skenarionya, harus mencerminkan kemajuan teknis semaksimal mungkin. Studi kami dimaksudkan untuk memberikan masukan untuk hal ini,” kata Creutzig seperti dilansir Electrek, Selasa (26/9/2023).
Sebagai contoh, studi tersebut mencatat, biaya penyimpanan baterai sudah kurang dari 100 dolar AS (sekitar Rp 1,5 juta) per kilowatt jam, yang secara signifikan lebih murah daripada yang diperkirakan pada tahun 2030 dalam studi dua tahun lalu. Mereka mengatakan bahwa harga premium untuk penyimpanan baterai akan turun dari 100 persen saat ini, menjadi hanya 28 persen pada tahun 2030.
Lalu pada tahun 2050, para ahli memperkirakan 63 ribu terawatt jam energi surya akan tersedia secara global, dua kali lipat lebih banyak dari clean energy yang dipasok oleh batu bara saat ini. Dan 80 persen dari investasi swasta dalam kapasitas energi baru saat ini bebas dari fosil.
Namun demikian, para peneliti menyatakan bahwa batu bara masih akan tetap bertumbuh karena pertimbangan seperti lapangan pekerjaan, pembayaran pajak, kendala politik, atau likuiditas keuangan membuat pemerintah tetap berinvestasi di batu bara meskipun energi terbarukan memiliki hasil yang lebih baik.
“Emisi gas rumah kaca lebih tinggi dari sebelumnya dan langkah-langkah yang diambil sejauh ini terlalu lemah. Tetapi dalam situasi yang sulit secara politis ini, kemajuan teknologi memberikan secercah harapan,” kata salah satu peneliti, Jan Minx.
Model skenario baru, beberapa di antaranya mulai dieksplorasi, kemungkinan besar akan menunjukkan bahwa transisi iklim global mungkin tidak semahal yang diasumsikan sebelumnya, dan bahkan bisa menghemat biaya.