REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku Penyelenggara Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) mencatat tidak ada transaksi untuk perdagangan unit karbon pada hari kedua setelah peluncuran.
Harga unit karbon di pasar reguler pada pembukaan dan penutupan tidak mengalami perubahan, yaitu berada di harga Rp 77 ribu per unit karbon, melansir data perdagangan di IDXCarbon Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Selain itu, jumlah pengguna jasa juga tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan jumlah saat penutupan perdagangan Selasa (26/09/2023) kemarin, yaitu sebanyak 16 pengguna jasa.
Pada perdagangan perdana Selasa (26/09/2023), BEI mencatat total volume perdagangan sebanyak 459.953 ton CO2 (unit karbon) dengan total transaksi sebanyak 27 transaksi.
Kemarin, perdagangan unit karbon di pasar reguler dibuka pada harga Rp69.600 dan ditutup pada harga Rp 77 ribu.
Total pembeli tercatat sebanyak 15 pengguna jasa dan total penjual sebanyak satu pengguna jasa yaitu Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) yang menyediakan Unit Karbon dari Proyek Lahendong Unit 5 dan Unit 6 PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO).
Dengan tidak adanya transaksi di Bursa Karbon pada Rabu ini, dengan demikian, nama-nama perusahaan yang berperan sebagai penjual maupun pembeli unit karbon pada perdagangan juga tidak berubah.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman mengatakan, pihaknya belum mematok target volume transaksi unit karbon, karena masih menunggu dari Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (SPE-GRK) dan permintaan dari pengguna jasa untuk mematok target volume transaksi di Bursa Karbon.
"Kita di pasar sekunder, berbeda dengan IPO bursa efek melakukan primary market, sehingga kita bisa tahu volume. Kami bergantung terhadap SRN-PPI di KLHK,” ujar Iman.
Namun demikian, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar optimistis Bursa Karbon Indonesia akan menjadi salah satu bursa karbon besar dan terpenting di dunia, karena volume maupun keragaman unit karbon yang diperdagangkan dan kontribusinya kepada pengurangan emisi karbon nasional maupun dunia.
Melansir data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero), terdapat 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, yang berpotensi ikut perdagangan karbon pada tahun ini, yang mana jumlah tersebut setara dengan 86 persen dari total PLTU batu bara yang beroperasi di Indonesia.
Selain dari subsektor pembangkit tenaga listrik, Mahendra menyebutkan ke depan perdagangan karbon di Indonesia diramaikan oleh sektor lain, seperti sektor kehutanan, pertanian, limbah, migas, industri umum dan yang akan menyusul dari sektor kelautan.