REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Lebih dari 250 alumni dari perguruan tinggi terbaik Amerika Serikat (AS) yang dikenal Ivy League menandatangani surat terbuka sebagai solidaritas pada mahasiswa yang menggelar unjuk rasa pro-Palestina di dalam kampus. Surat tersebut mengecam kebungkaman institusi pendidikan di tengah upaya untuk menekan suara dukungan hak-hak Palestina.
Surat tersebut dirilis saat sejumlah mahasiswa dari Ivy League diancam akan kehilangan tawaran kerja, pengungkapan informasi pribadi, dan kekerasan fisik karena mendukung aktivisme yang berkaitan dengan Palestina. Intimidasi itu dilakukan sepanjang desakan gencatan senjata di Gaza.
"Palestina yang merdeka berada di jangkauan kita, sebagai alumni dan anggota masyarakat, kami bersatu untuk menegakan aktivisme mahasiswa," kata para alumni dalam surat tersebut seperti dikutip Middle East Eye, Selasa (7/11/2023).
"Keberuntungan dan suara yang kami miliki yang mana banyak orang yang tidak memilikinya, mari tegakan kepala kita saat kami menyoroti penindasan terus tumbuh di kegelapan, sejarah di pihak kami," tambah surat yang ditandatangani 263 orang itu.
Para alumni mengatakan mereka "terganggu melihat almamater membiarkan anggota komunitasnya sendiri dilukai saat berbicara tentang krisis kemanusiaan."
Para penandatangan surat tersebut menambahkan sikap diam dan kurangnya dukungan pemerintah AS terhadap para mahasiswa di tengah-tengah kampanye pengeboman, pengepungan, dan invasi darat Israel ke Gaza adalah hal yang "diperhitungkan dan berkontribusi pada narasi yang memungkinkan terjadinya genosida".
Surat tersebut muncul di tengah-tengah lingkungan yang semakin tidak bersahabat terhadap aktivisme pro-Palestina di kampus-kampus Amerika Serikat. Pada awal pekan ini Middle East Eye mewawancarai sejumlah mahasiswa yang mengaku diancam, tanpa jaminan atau dukungan dari administrasi mereka.
Dalam satu contoh, setelah dua lusin kelompok di Universitas Harvard merilis sebuah surat yang menyalahkan blokade Israel selama 17 tahun di Gaza atas serangan mematikan terhadap Israel, seorang miliarder alumnus Harvard dan donatur meminta universitas untuk merilis nama-nama mahasiswa yang menandatanganinya, sehingga perusahaan-perusahaan tidak akan mempekerjakan mereka.
Kemudian, sebuah "daftar teror perguruan tinggi" diterbitkan secara online yang mencakup informasi pribadi para penandatangannya, sebuah taktik yang dikenal sebagai "doxxing." Informasi pribadi itu telah dihapus.
Upaya kecaman tidak hanya ditujukan kepada para mahasiswa, beberapa profesor di sekolah-sekolah Ivy League menghadapi seruan agar mereka dipecat karena pernyataan atau tulisan mereka tentang Palestina. Seperti Profesor Joseph Massad dari Columbia University mendapat petisi yang menyerukan agar universitas memecatnya setelah ia menulis sebuah opini yang menganalisis serangan yang dilancarkan kelompok-kelompok bersenjata Palestina terhadap Israel.
"Kami membuat surat ini untuk mendukung para pemuda pemberani yang ditinggalkan pemerintah mereka yang menempatkan diri mereka dalam risiko untuk membela keadilan dan berbicara menentang genosida," ujar tiga penandatangan dalam sebuah pernyataan yang dibagikan kepada Middle East Eye.
"Kami ingat betul saat-saat ketika kami berada di posisi mereka, diintimidasi oleh mereka yang berkuasa dan bertanya-tanya seperti apa masa depan kami: apakah kami akan berhasil melewati noda-noda yang salah? Akankah kami tetap sukses?"
Para penandatangan meyakinkan para mahasiswa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah "ya".
"Cukup sudah dengan gembar-gembor kebebasan berekspresi secara selektif yang hanya menguntungkan kantong-kantong Ivy League dan melanggengkan kekuasaan yang menindas. Almamater kami memiliki kewajiban untuk mengajarkan kebenaran dan melindungi keselamatan mahasiswa. Mereka seharusnya tahu lebih baik daripada membiarkan pelecehan," kata para penandatangan.
Penyensoran di kampus-kampus kini tidak hanya datang dari kelompok-kelompok luar, namun juga datang dari tingkat atas pemerintahan AS. Baru-baru ini pemerintahan Biden mengumumkan mereka mengarahkan beberapa badan federal untuk bekerja sama dengan penegak hukum kampus untuk menyelidiki antisemitisme di universitas.
Pemerintahan Biden mengadopsi definisi antisemitisme dari International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA), yang mencakup kritik terhadap Israel sebagai bentuk kefanatikan.
Upaya pemerintahan Biden ini dilakukan setelah Anti-Defamation League (ADL), sebuah organisasi yang memiliki sejarah menyerang kelompok-kelompok pro-Palestina dan aktivis kulit hitam, mengeluarkan sebuah surat terbuka kepada 200 perguruan tinggi, yang menyerukan kepada mereka untuk melakukan investigasi terhadap organisasi Students for Justice in Palestine (SJP).
Beberapa hari kemudian, negara bagian Florida mengeluarkan perintah untuk melarang cabang-cabang SJP di universitas-universitas di seluruh negara bagian tersebut. Florida menuduh kelompok mahasiswa tersebut memberikan dukungan material kepada Hamas.
Para penandatangan surat tersebut mengatakan kampanye penyensoran yang sedang berlangsung ini mengingatkan pada upaya-upaya sebelumnya untuk mengekang kebebasan berbicara, termasuk setelah serangan 9/11 dan selama gerakan hak-hak sipil dan mobilisasi anti perang pada tahun 1960-an.
"Upaya-upaya di seluruh negeri yang mengklaim menyensor terorisme atau kebencian adalah kedok untuk memberangus dan mengkriminalisasi mereka yang berbicara demi keadilan, dan kita telah melihat hal ini sepanjang sejarah. Bagaimana mungkin berbicara tentang kemanusiaan kelompok mana pun dapat menjadi hasutan untuk melakukan kekerasan atau kebencian terhadap siapa pun?" kata ketiga penandatangan tersebut kepada MEE.
"Reaksi yang tidak menentu dari mereka yang ingin menekan seruan untuk keadilan tidak hanya membahayakan kebebasan akademis yang menjadi harapan kami, tetapi sekali lagi menunjukkan betapa kuatnya suara mahasiswa selama ini: pesan mereka berhasil, dan mereka yang ingin membungkamnya sangat takut akan kebenaran," kata mereka.