REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyadari adanya sejumlah perusahaan yang diduga menutupi kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja. Tindakan semacam ini dilakukan demi menjaga nama baik perusahaan tersebut.
KPPPA meminta dunia kerja menyadari pentingnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sebab aksi bejat itu tetap berpeluang terjadi di lingkungan kerja.
"Upayanya ditutup-tutupin karena demi jaga reputasi perusahaan," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KPPPA, Eni Widiyanti dalam Talkshow "Implementasi UU TPKS Menciptakan Tempat Kerja Bebas Kekerasan Seksual" pada Kamis (7/12/2023).
Eni menyebut KPPPA terus melancarkan kampanye UU TPKS di lingkungan kerja. Harapannya semakin banyak perusahaan yang menyiapkan skema pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
"Kita akan mengubah ini. Akui kalau memang ada, tapi perusahaan harus menanganinya," ujar Eni.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO KPPPA Priyadi Santosa menyinggung predikat zero tolerance kekerasan seksual malah membuat suatu perusahaan menutup kasus kekerasan seksual. Priyadi mengingatkan dampak buruk bagi perusahaan ketika akhirnya kasus itu mencuat.
"Masih sangat memungkinkan seperti itu. Zero tolerance malah akhirnya jadi menutup. Itulah perlu kolaborasi dengan berbagai pihak. Kalau ditutup justru mudah diviralkan jadi blow up luar biasa," ujar Priyadi.
Sementara itu, Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemenaker Yuli adiratna menegaskan kewajiban pembentukan satuan tugas (satgas) kekerasan seksual di perusahaan. Hal ini mengacu Keputusan Menaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
"Inti aturan itu memastikan perusahaan miliki satgas untuk cegah dan tangani kekerasan seksual. Ada petunjuk bagi perusahaan melakukan itu, termasuk sanksi bagi pelaku kekeran seksual di tempat kerja, memastikan rujukan perlindungan terhadap korban," ujar Yuli.