REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati mengatakan persoalan kekerasan masih menjadi tantangan dalam perlindungan perempuan dan anak.
Ratna Susianawati berharap peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun ini tidak sekadar seremoni, tetapi merupakan bentuk komitmen bersama dan kolaborasi semua pihak untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan.
"Kami ingin buat satu kegiatan yang menunjukkan ini agenda bersama, komitmen bersama, harus kerja bersama, kerja kolaborasi jadi bagian penting yang selalu disampaikan Bu Menteri (PPPA). Karena tentu tidak mungkin bisa kita selesaikan sendiri," kata Ratna Susianawati, kemarin.
Peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, dimulai sejak 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan berakhir pada 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Menurut dia, dalam peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan juga dikaitkan dengan berbagai peringatan lain seperti Hari Disabilitas Internasional dan Hari Relawan Internasional untuk menentang tindak kekerasan terhadap perempuan.
"Misalnya, ketika Hari Disabilitas Internasional. Isu kita giring untuk bicara perempuan dengan kondisi disabilitas masih mengalami kekerasan atau tindakan diskriminatif lain," ujarnya.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sebanyak 73 persen kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dengan jenis kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan fisik.
Sementara data kekerasan pada anak, yang terbesar adalah kekerasan seksual. Namun, pihaknya belum merinci jumlah kasus kekerasan seksual pada anak sepanjang 2023.