REPUBLIKA.CO.ID, Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dimas Dwi Saputro mengatakan anak-anak menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai penyakit saat menghadapi bencana gempa bumi.
"Pertama penyakit yang paling pertama muncul pada anak-anak setelah terjadi gempa bumi adalah luka-luka pada tubuh," katanya dalam diskusi daring bertajuk “Antisipasi Permasalahan Kesehatan Anak Pada Situasi Gempa Bumi” di Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Ia menekankan, pentingnya penanganan cepat terhadap luka-luka ini untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Dia menyebutkan ketika masyarakat berkumpul di tempat pengungsian yang padat, risiko penularan penyakit meningkat lebih cepat, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan diare.
“Biasanya diare sering terjadi akibat kekurangan air bersih dan sanitasi yang tidak memadai di lokasi bencana," katanya.
Selain itu, kata dia, jamur yang terhirup dari bangunan tua yang sudah hancur akibat gempa juga dapat menyebabkan radang sesak atau radang paru-paru pada anak-anak. “Karakteristik penyakit ini dengan radang paru-paru biasa yang diobati dengan antibiotik sangat berbeda,” kata dia.
Dia mengatakan potensi penularan penyakit Tuberkolosis (TBC) juga sering muncul dalam situasi pengungsian yang padat di lokasi terdampak gempa bumi. Situasi semacam itu, menurut dia, memerlukan penanganan khusus guna melindungi kesehatan masyarakat yang rentan, terutama ketika mereka berada di tengah-tengah bencana.
“Di lokasi pengungsian harus menghindari kontak erat untuk mencegah penyebaran penyakit TBC,” katanya.
Iritasi mata dan kulit, kata dia, juga menjadi masalah kesehatan yang perlu diwaspadai saat terjadi bencana gempa bumi. "Debu-debu dan kuman-kuman dapat menyebabkan iritasi mata dan infeksi kulit, yang bisa terjadi dalam waktu yang lebih lama. Jadi kita harus melihat pada fase kapan datangnya penyakit itu apakah fase di bawah 72 jam atau fase-fase penyakit menular umumnya yang terjadi ketika sudah lebih dari tiga hari,” kata Dimas.