Ahad 17 Dec 2023 07:09 WIB

Berseteru dengan Ulama Membuat Amangkurat Enggan Pakai Gelar Sultan Tapi Susuhunan?

Imbas politik dari perselisihan Amangkurat dengan para ulama

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Partner
.
Foto: network /Muhammad Subarkah
.

Syarif Makkah terakhir, Husain bin Ali ialah Syarif Makkah
Syarif Makkah terakhir, Husain bin Ali ialah Syarif Makkah

Imbas perselisihan dan kemudian memicu pembantaian ribuan ulama oelh Raja Mataram ternyata terbukti panjang. Ini misalnya pengganti Sultan Agung, yakni Raja Amangkurat I, enggan tak mau lagi memakai gelar 'Sultan' seperti mendiang ayahnya. dia memilih memakai gelar 'Susuhunan' atau 'Sunan' yang itu merupan gelar raja Jawa penginggalan masa Majapahit.

Pada awalnya emang tak banyak tahu mengapa Raja Mataram Amangkurat tak lagi memakao gelar Sultan seperti ayahnya Sultan Agung? Ini terkait keinginan Amangkurat kembali memakai gelar raja ala zaman Majapahit yakni ‘Susuhunan’ atau ‘Sunan’ di singkat Sunan.

Bila dilihat kembali ke masa periode sebelumnya yakni masa Sultan Agung yang pada mudanya Bernama Pangeran Rangsang, gelar sultan itu memang dia ambil ketika mengirimkan utusan ke Makkah sekitar tahun 1620-an. Saat itu gelar Sultan dimintanya setelah mengirimkan utusan untuk beribadah haji ke Makkah pada tahun 1641. Pada saat itulah syarif Makkah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi.mengaugerahlan gelar Sultan kepada raja Mataram. Syarif Makkah ini adalah perwakilan dari imperum Ottoman yang kala itu menguasi dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah.

Dalam catatan De Graaf Amangkurat I selaku pengganti Sultan Agung yang mengawalinya. Raja muda ini menganugerahi dirinya nama yang dimiliki ayahnya sebelum pengangkatannya sebagai sultan antara tahun 1624 dan 1641, yaitu Susuhunan Ingalaga, Kiranya perlu diingat bahwa pewarisan suatu gelar kala itu belum bisa terjadi di Jawa. Misalnya, pengganti Sultan Banten yang meninggal 1651 bahkan harus mendatangkan gelar itu kagi ke Makkah, dan baru setelah itu Bernama Suktan Abulfath Abdul Fattah,

Mungkin raja Mataram merasa keberatan harus berusaha dan mengeluarkan banyak biaya untuk diangkat sebagai Sultan oleh orang asing, sedangkan dengan segera dan cuma-Cuma ia dapat menamakan dirinya dengan Susuhunan. (catatan, di sini De Graaf tak melihat bahwa ketika menerima gelar Sultan dari Syarif Makkah maka artinya raja ini menundukan diri pada kekuasaan imperium Ottotaman yang kala itu Berjaya. Tebrukti di masa kemudian Amangkurat lebih mendekat ke VOC dan banyak berseru dengan pemuka agama Islam).

Apalahi dari catatan De Graaf memang saat itu Amangkurat seringkali berselisih dengan para ulama, sehingga hal ini dapat menimbulkan perasaan kurang senang pada hubungannya dengan Arab.

Dipakainya kembali dengan gelar Susuhunan yang lama ini penting artinya karena itu sejak sebagian gelar nama raja Jawa tetap Jawsa. Sekalipun kemudian diberi sebagai tambahan berbagai gelar dan nama Muslim.

Dewasa ini raja tersebut terkenal dengan nama Mangkurat: yang artinya mnemangku kerajaan. Tetapi tidak ada petunjuk yang jelas bahwsa nama ini pernah dipakainya selama hidupnya. Baru dalam Babad Tanah Djawi yang dalam peremat ketiga abad ke-18 mendapat bentuknya yang definitive, ia diberi nama yang demikian.

Dalam sebuah tulisan Kompeni tidak lama sebekkum tahun 1700 sesekali disebut sebagai Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga. Sedangkan Valentijn memastikan bahwa tidak hanya putranya yang terkenal sebagai Mangkurat (II), melainkan ia sendiri juga menamakan dirinya demikian,’tetapi tidak berlebihan pada anaknya’.

Di sampung itu, ada kalanya ia juga disebut Mangkurat Agug. Sebaliknya, nama seperti Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama harus dianggap sebagai tambahan yang diberikan lama kemudian, mencontoh gelar-gelar raja abad ke-18.

sumber : https://algebra.republika.co.id/posts/253506/berseteru-dengan-ulama-membuat-amangkurat-enggan-pakai-gelar-sultan-tapi-susuhunan-
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement