REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Libur Natal dan Tahun Baru biasanya dimanfaatkan untuk berlibur bersama keluarga. Mulai dari berlibur ke pantai, wisata petualangan, menjelajah budaya dan adat suatu daerah, serta staycation di tempat eksotis.
Namun, dalam setahun terakhir, banyak rekor iklim yang dipecahkan saat gelombang panas dan kebakaran hutan melanda sebagian besar wilayah Eropa, Amerika Utara, dan Asia. Pada bulan Juli misalnya, Sardinia dan Sicily mengalami suhu lebih dari 46 derajat Celsius yang hampir memecahkan rekor Eropa.
Seiring dengan semakin parahnya dampak perubahan iklim, kekhawatiran akan dampak dari perubahan iklim juga dirasakan sebagian orang tua yang hendak berlibur bersama buah hati. Psikolog klinis anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menjelaskan bahwa memiliki rasa khawatir akan hal-hal buruk yang berpotensi terjadi di kemudian hari merupakan hal wajar.
Akan tetapi, sebagai orang tua, penting untuk bisa tetap tenang dan tidak panik. Pasalnya, perasaan panik orang tua bisa membuat anak ikut merasa tidak tenang dan ketakutan.
“Dalam hal ini, reaksi anak sangat tergantung dari bagaimana reaksi orang-orang dewasa terdekatnya seperti orang tuanya. Jika orang tua tenang, anak akan ikut tenang juga,” kata Vera saat dihubungi Republika, dikutip Senin (25/12/2023).
Alih-alih panik, Vera menyarankan orang tua untuk lebih matang dalam perencanaan liburan. Misalnya, dengan merencanakan liburan ke destinasi atau daerah yang risiko terjadi bencananya rendah, lalu selalu up to date melihat prakiraan cuaca sebelum melakukan perjalanan.
“Dan ketika misal terjadi suatu hal yang tidak diinginkan seperti bencana, panik mungkin sulit dihindari tapi cepat sadari bahwa anak butuh juga ditenangkan. Cari tempat berlindung yang aman dan jelaskan kepada anak apa yang terjadi serta yakinkan anak akan baik-baik saja,” kata Vera.
Berbicara soal perubahan iklim, Vera mengamati bahwa sejauh ini, belum ada dampak langsung dan luas dari perubahan iklim terhadap kesehatan mental anak dan remaja. Akan tetapi, perubahan iklim berpotensi menyebabkan perubahan pola perilaku anak dan remaja yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kondisi mental.
Vera mencontohkan, ketika suhu udara di luar sangat panas, maka orang-orang termasuk anak dan remaja akan membatasi aktivitas di luar ruangan. Atau karena udara kotor, muncullah penyakit yang membatasi gerak sehari-hari.
“Jika perubahan perilaku seperti itu terjadi terus-menerus, maka sangat mungkin bisa mempengaruhi kondisi mental seseorang,” tegas Vera.