REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar ekonomi syariah Universitas Airlangga (Unair) Imron Mawardi menilai, pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) menggunakan pinjaman online (Pinjol) bukan solusi yang tepat. Karena, meskipun membantu di awal, solusi jangka pendek ini berpotensi menjebak mahasiswa dalam lingkaran utang karena bunga pinjaman yang fantastis.
"Kalau mahasiswa kesulitan, kemudian diberikan pinjaman dengan bunga, maka akan semakin menyulitkan mahasiswa tersebut. Mereka yang kesulitan finansial justru makin sulit karena nilai pembayarannya menjadi lebih besar," ujar Imron, Selasa (15/2/2024).
Imron mencontohkan Pinjol PT Inclusive Finance Group atau Danacita yang digandeng beberpa perguruan tinggi seperti ITB. Menurut Imron, bunga yang Danacita tetapkan sangat tinggi, yakni sekitar 1,75 persen flat per bulan atau setara dengan 21 persen per tahunnya. Jika bunga flat tersebut dikonversi ke bunga efektif layaknya bunga kredit pemilikan rumah, maka setara dengan 42 persen. Hal tersebut tiga kali lipat jika dibandingkan dengan bunga KPR.
"Adanya Pinjol tersebut dapat bernilai baik, tetapi bukan untuk mahasiswa yang kesulitan. Pinjaman tersebut lebih cocok bagi pekerja yang ingin melakukan sertifikasi, mengikuti kursus, dan lain sebagainya, untuk meningkatkan pendidikannya karena belum memiliki kesiapan dana. Sekali lagi, bukan untuk mahasiswa yang kesulitan membayar UKT," katanya.
Menurut Imron, semestinya perguruan tinggi dapat memberikan solusi terbaik tanpa adanya bunga. Seperti menyediakan pembayaran dengan cicilan. Perguruan tinggi juga dapat bekerja sama dengan lembaga sosial, sehingga dapat memberikan bantuan.
"Di Unair, mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam membayar UKT dapat mengajukan angsuran pembayaran dan itu tanpa bunga. Selain itu, di UNAIR terdapat Pusat Pengelolaan Dana Sosial (Puspas) yang didirikan untuk membantu mahasiswa dan staf yang kesulitan. Sumber dananya berasal dari sumbangan alumni, orang tua, dan sumbangan masyarakat tanpa mengikat," katanya.
Imron melanjutkan, alternatif lainnya adalah menggunakan dana pendidikan yang bersifat abadi yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). LPDP saat ini mengelola dana sebesar Rp140 triliun, yang terus bertambah setiap tahunnya berkat hasil investasi dan tambahan dana abadi pendidikan yang dialokasikan melalui APBN.