REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang ibu di Gaza, Palestina memberikan kurma yang dibungkus kain kasa untuk diisap oleh bayinya yang masih berusia dua bulan. Gaza kini tengah mengalami krisis pangan dan kelaparan.
Seorang ibu pengungsi Palestina yang bernama Warda Mattar itu tinggal di sebuah sekolah di kamp pengungsi Al-Nuseirat, sebelah utara Deir al-Balah. Kurma menjadi satu-satunya harapan untuk pemenuhan nutrisi bayinya karena produksi air susu (ASI)-nya mampet, sementara di Gaza juga tidak ada susu formula.
"Anak saya seharusnya mendapat susu saat baru lahir, baik itu susu alami atau susu formula, tapi saya tidak bisa memberinya susu, karena tidak ada susu di Gaza," kata Mattar, dikutip dari laman ABC, Rabu (28/2/2024).
Mattar terpaksa melakukannya untuk membuat bayinya tidak terus menangis. Krisis pangan telah menjadi masalah di wilayah kantong Palestina sejak dimulainya serangan antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023. Krisis ini sangat akut di Gaza utara, di mana pengiriman bantuan sudah jarang terjadi dalam jangka waktu yang lama.
Dikutip dari laman Oxfam, "masa keemasan" produksi pertanian para petani Gaza selama dua bulan telah dihancurkan oleh pengeboman militer Israel dan penyegelan wilayah utara Gaza. Ini menghancurkan lahan pertanian terkaya di wilayah kantong tersebut yang merupakan salah satu sumber buah dan sayur-sayuran terbesar di sana.
Tindakan Israel sangat membatasi bantuan kemanusiaan. Di sisi lain, hilangnya produksi pertanian lokal memperburuk malanutrisi dan kelaparan, sehingga menyebabkan kelaparan dan ketakutan akan hal terburuk yang akan terjadi pada 300 ribu orang yang diperkirakan masih tinggal di Gaza utara.
"Risiko genosida meningkat di Gaza utara karena Pemerintah Israel mengabaikan salah satu ketentuan utama Mahkamah Internasional, yaitu menyediakan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan," kata Sally Abi Khalil, Staf Timur Tengah dan Utara Oxfam.
Organisasi mitra Oxfam, Asosiasi Pembangunan Pertanian Palestina (PARC), salah satu organisasi lokal terbesar yang berfokus pada dukungan pertanian, memperkirakan bahwa hampir seperempat lahan pertanian di Gaza utara dihancurkan sepenuhnya oleh pasukan Israel, yang menghancurkan rumah-rumah kaca dan bangunan serta 70 persen lahan pertanian mereka. Armada penangkap ikan Gaza pada hari-hari awal pemboman dan penyerangan.
Palestina juga kesulitan dalam pertanian kurma imbas tanahnya yang dirasmpas Israel. Menurut laman Aljazirah, sejak tahun 1930-an, seorang pemukim Zionis dan pendiri Kinneret kibbutz bernama Ben-Zion Israel melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk mengumpulkan potongan pohon palem.
Sering kali, dia menyelundupkannya secara ilegal ke luar negara yang dikunjungi, seperti Irak, Persia, dan Mesir, karena barang-barang tersebut dianggap sebagai harta nasional dan dilarang diekspor. Barang yang diselundupkan tersebut telah membantu pendirian perkebunan besar di seluruh wilayah Israel.
Kebun palem ditanam mulai dari Laut Merah di selatan sepanjang Laut Mati, hingga Laut Galilea di utara, sehingga industri kurma Israel mendapat julukan "industri tiga lautan". Sejak Israel menduduki Tepi Barat Palestina pada 1967, Israel juga telah mendirikan perkebunan kurma di pemukiman ilegal di bagian Yordania tersebut.
Menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tahun 2017, Israel memproduksi 136.956 ton kurma. Nilai ekspornya mencapai 181,2 juta dolar AS.