REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kebangkitan manusia dari kuburnya dan hidup kembali seperti semula dalam kondisi yang berbeda sama sekali dari sebelumnya, merupakan sesuatu yang fenomenal. Manusia yang terdiri dari daging dan tulang belulang, setelah kematiannya pasti akan hancur lebur karena proses alamiah di dalam tanah, air atau udara, kecuali jika dijadikan mumi dengan membubuhkan ramuan-ramuan tertentu sehingga jasad akan menjadi awet, sebagaimana yang dilakukan orang Mesir kuno terhadap raja-raja mereka.
Lantas, apakah mungkin jasad yang sudah hancur lebur bisa kembali lagi seperti sedia kala? Secara akal, sulit untuk bisa diterima dan ini tidak bisa diujicobakan dalam laboratorium kimia manapun. Jika ada teknologi yang mampu, sudah pasti banyak ilmuwan yang ingin membangkitkan kembali orang-orang yang mereka kagumi pada masa lalu. Nyatanya, sampai detik ini tidak ada satu bangsa pun yang mampu melakukannya.
Sebab, kehidupan seseorang sangat tergantung pada keberadaan roh, ciptaan Allah. Roh merupakan misteri, hanya Allah yang mengetahuinya. Tidak ada satu bangsa pun yang mampu mengetahui hakikat roh ini. Roh masuk dalam urusan Allah, bukan urusan manusia. Manusia hanya mengurus badan yang telah dimasuki roh.
Kebangkitan manusia tidak bisa dipecahkan oleh filsafat, tetapi bisa dijawab oleh agama. Seperti keberadaan alam kubur dan malaikat, kebangkitan merupakan hal gaib yang harus diimani atau diyakini. Mendustakannya adalah sebuah pengingkaran dan kesesatan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا هَلْ نَدُلُّكُمْ عَلٰى رَجُلٍ يُّنَبِّئُكُمْ اِذَا مُزِّقْتُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍۙ اِنَّكُمْ لَفِيْ خَلْقٍ جَدِيْدٍۚ
Orang-orang yang kufur berkata (kepada teman-temannya), “Maukah kami tunjukkan kepadamu seorang laki-laki (Nabi Muhammad) yang memberitakan kepadamu bahwa apabila badanmu telah dihancurkan sehancur-hancurnya, sesungguhnya kamu pasti (akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan yang baru. (QS Saba' Ayat 7)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اَفْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَمْ بِهٖ جِنَّةٌ ۗبَلِ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ فِى الْعَذَابِ وَالضَّلٰلِ الْبَعِيْدِ
Apakah dia mengada-adakan kebohongan besar terhadap Allah atau gila?” (Tidak), tetapi orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat itu dalam siksaan dan kesesatan yang jauh. (QS Saba' Ayat 8)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالُوْٓا ءَاِذَا ضَلَلْنَا فِى الْاَرْضِ ءَاِنَّا لَفِيْ خَلْقٍ جَدِيْدٍ ەۗ بَلْ هُمْ بِلِقَاۤءِ رَبِّهِمْ كٰفِرُوْنَ
Mereka berkata, “Apakah apabila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami akan (kembali) dalam ciptaan yang baru?” Bahkan (bukan hanya itu), mereka pun mengingkari pertemuan dengan Tuhannya. (QS As-Sajdah Ayat 10)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اَيَعِدُكُمْ اَنَّكُمْ اِذَا مِتُّمْ وَكُنْتُمْ تُرَابًا وَّعِظَامًا اَنَّكُمْ مُّخْرَجُوْنَ ۖ
۞ هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ لِمَا تُوْعَدُوْنَ ۖ
اِنْ هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوْثِيْنَ ۖ
Adakah dia menjanjikan kepadamu bahwa apabila telah mati serta menjadi tanah dan tulang belulang, kamu benar-benar akan dikeluarkan (dari kuburmu)? Jauh, jauh sekali apa yang diancamkan kepadamu itu (dari kebenaran). Ia (kehidupan itu) tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini. (Di sanalah) kita mati, hidup, dan tidak akan dibangkitkan (lagi). (QS Al-Mu'minūn 35-37)
Termasuk pendustaan dan pengingkaran adalah keyakinan bahwa kekuatan yang menjadikan manusia hidup dan mati tidak lain adalah pergantian masa (ad- dahr), bukan lainnya. Mereka yang berpendapat demikian dinamakan kaum ad-Dahriyyun.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُۚ وَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍۚ اِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ
Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Padahal, mereka tidak mempunyai ilmu (sama sekali) tentang itu. Mereka hanyalah menduga-duga. (QS Al-Jasiyah Ayat 24)
Dialektika Kebangkitan Manusia Era Sebelum Islam
Dialektika kebangkitan manusia dari alam kubur sejatinya sudah ada sejak sebelum Islam. Ini terindikasi dari penjelasan ayat Alquran tentang beberapa hal berikut.
Pertama, kisah seorang Nabi ketika melewati negeri yang telah porak poranda. Diriwayatkan namanya ‘Uzair atau Hizqial, atau seorang dari Bani Israil, atau mungkin lainnya. Alquran tidak begitu mementingkan untuk menyebut nama, karena yang terpenting adalah pelajaran yang dipetik dari kisahnya. Begitu juga dengan nama negeri yang telah porak poranda. Sebagian riwayat menyebutnya Baitul Maqdis yang telah dihancurkan oleh Nebukadnezar (Bukh- tunashshar al-Babili).
Dikisahkan, ketika melewati negeri yang porak-poranda itu, Nabi itu bertanya, “Bagaimana Allah bisa membangkitkan kembali penduduk negeri yang telah mati ini?” Allah pun mematikan dia bersama keledainya. Selang seratus tahun kemudian, Allah membangkitkan dia bersama keladainya. Maka menjadi jelaslah persoalan (kebangkitan) baginya, hingga dia memercayainya, sebab Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اَوْ كَالَّذِيْ مَرَّ عَلٰى قَرْيَةٍ وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ قَالَ اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهٗ ۗ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَۗ وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا ۗ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗ ۙ قَالَ اَعْلَمُ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Atau, seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh menutupi (reruntuhan) atap-atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah kehancurannya?” Lalu, Allah mematikannya selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (kembali). Dia (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya engkau telah tinggal selama seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, (tetapi) lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang) dan Kami akan menjadikanmu sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging (sehingga hidup kembali).” Maka, ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Aku mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah Ayat 259)
Kedua, pertanyaan Nabi Ibrahim tentang cara Allah membangkitkan orang yang telah wafat. Meski yakin akan adanya Hari Kebangkitan, Nabi Ibrahim tetap ingin mengetahui secara lebih detail proses kebangkitan agar hatinya lebih tenteram.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ
(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Dia (Allah) berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang.” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu dekatkanlah kepadamu (potong-potonglah). Kemudian, letakkanlah di atas setiap bukit satu bagian dari tiap-tiap burung. Selanjutnya, panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Baqarah Ayat 260)
Dua kisah tersebut menggambarkan betapa persoalan kebangkitan manusia di Hari Akhir masih memunculkan pertanyaan, meski bagi seorang Nabi sekalipun. Tentu bukan karena mereka tidak percaya, melainkan karena keingintahuan mereka mengenai detail prosesnya.
Kedua Nabi tersebut sudah percaya dalam tataran ‘ilmul yaqin, tapi belum pada tataran ‘ainul yaqin. Hal ini bisa dianalogikan dengan keyakinan akan eksistensi Kabah. Semua umat Islam pasti meyakini eksistensinya, meski belum tentu mereka pernah melihatnya. Keyakinan akan eksistensi Kabah tentu akan bertambah kadarnya bila dibarengi dengan melihat wujud aslinya dengan mata kepala sendiri. Begitupun dengan ‘Uzair dan Ibrahim; keduanya bertanya untuk meneguhkan iman mereka, dan meminjam alasan Ibrahim, untuk menenangkan hatinya.
Jika kedua Nabi saja masih penasaran maka wajarlah jika persoalan kebangkitan banyak dipertanyakan oleh kaum Quraisy. Untuk itu, Alquran menjelaskan
bahwa keberadaannya merupakan keniscayaan. Menjelaskan tentang ini, Alquran mengemukakan dua hal. Pertama, melalui analogi berpikir yang sehat. Kedua, melalui analogi fenomena yang ada di alam semesta.
Demikian penjelasan Tafsir Ilmi: Kiamat Dalam Perspektif Alquran dan Sains yang disusun Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2011.