''Inilah Venisa!.'' Hati saya membatin ketika pesawat udara milik sebuah maskapai Eropa berputar hendak turun ke bandara kota kecil di sisi selatan Italia itu. Sekilas tak ada kesan istimewa. Dari atas tak terlihat kota itu tak sepadat Roma. Benak saya bayanglan kota ini sekilas suasana seperti kotaPadang, Sumatra Barat.
Setelah mendarat kami pun segera antri turun dari pesawat. Tak ada garbarata yang menyambutnya. Harus turun memakai tangga bila hendak ke luar dari pesawat.
Bandara tidak terlampau besar. Mirip bandara Adi Sucipto atau bandara di Flores. Serhana saja. Penumpang yang turun juga tak terlalu ramai.''Ini sepi karena belum musim liburan,'' jawab petugas bandara ketika saya suasana cukup lengang di bandara.
Kami kemudian urusan dokumen di imigrasi. Petugas tanya mau kemana? Saya jawab pendek: ''Holiday liburan".
''Berapa duit yang kamu bawa'', tanya petugas imigaris.
Saya jawab:''More (banyak)" sembari memperlihatkan kartu kredit visa. Dia menanggauk, ''Okey,'' tukas dia sembari memberi saya untuk jalan ke luar dari meja pemeriksaan imigrasi.
Seusain mengurus bagasi, saya segera ke luar dari bandara. Di situ keriuhan mulai terasa. Namun juga tidak terlalu ramai.
Nah, ketika ke luar menjuju halaman terbuka, barulah udara terasa dingin suam-suam kuku. Cuaca Venisia bersahagat. Cuaca tak terlalu dingin dan panas. Mirip udara kawasan Puncak Bogor pagi hari.
Maka, mendadak keletihan badan akibat perjalanan panjang dari Jakarta dengan singgah di bandara Turki seketika hilang. Bila di hitung waktu perjalanan ditambah waktu transir sudah lebih dari 24 jam, Tak terbayangkan hari sudah berlalu. Jadi selama itu tak terasa kami mirip kaum imigran yang tersuruk-suruk menggendong ransel, tas, dan koper bagasi di berbagai bandara.
Memang, derbeda dengan B=bandara Istanbul yang megah dan luas, bandara Venezia yang diberi nama Marco Polo, cukup mungil. Kami segera mencari tempat penukaran uang. Kami ingin menukarkan uang dolar ke Lira. Sebab, kalau mau menukarkan Rupiaih ke uang asing lainnya di tempat penukaran uang di Eropa kadang ditolak. Rupiah dianggap tak ada harga. Uang dari negero antah berantah. Maka pilihan memang dolar atau uero ada;ah yang terbaik.
Setelah turun kami maju dalam antrian imigrasi. Cukup lama. Dan kami beruntung, ada pemisahan loket antara warga asing dan warga Italia. Meski begitu antrean memakan waktu hampir satu jam.
Setelah menukar dengan seorang teman seperjalanan, kami pun dudukl di bangku yang ada di bandara. DI situlah saya mulai menjadi makhluk dari dunia lain. Saya benar-benar asing, menyendiri diantara para bule baik yang putih atau agak kecoklatan layaknya warha Katalan.
Bila dahulu di Jogja kami pandangi orang asing dengan tatapan aneh, kini gentian kami dipandangi dari ujung kepala sampai kaki, seolah makhluk alien.
Usai koper kembali di tangan, kami pun berjalan ke luar bandara. Tiba-tiba sebelum ke luar ada lagi petugas bandara memanggil dan mencegat langkah kami. Dia kemudian bertanya:
‘’Anda turis’’ tanyanya.
‘’Iya, ada apa?”
“Mau ke mana?”
"Venezia,’’ jawab saya lagi.
“Punya uang berapa?”
“Banyak. Saya akan senang-senang di sana,’’ jawab saya sembari tersenyum.’’Ini kartu kredit saya. Silahkan cek berapa limitnya,’’ jawab saya agak kesal dan sedikit sombong (saya merasa harus sombong kepada Bule saat itu. Ingat moyang saya selalu dijajah bule).
Dalam soal ini saya trauma karena kerap dianggap pencari kerja seperti pernah dialami di bandara Singapura, Malaysia, Thailand, dan Abu Dhabi. Dan dari seorang teman saya yang bekerja di Abu Dhabi malah saya sempat dibisiki, jangan pakai pakain batik kalau berurusan dengan petugas imigrasi. Kenapa? Kkarena nanti dianggap TKI.
’’Pakai kaos dan sepatu yang bagus. Sebab, bagi orang asing sepatu itu dianggap sebagai ukuran orang ini punya duit atau tidak. Mereka tidak terpaku pada pakaian, beda dengan kita. Dan jangan minder,’’ ujar seorang teman.
Dan resep dia ternyata saat itu ampuh dengan melenggang bebas ke luar bandara Venizia. Di luar ada teman dari Belanda yang berdarah Turki, Edin, yang menunggu. Dialah kepala rombongan yang mengarahkan kami selama dua pekan untuk memutari wilayah Itali dan Balkan. Arah kunjungan pertama tentu kota dagang tua semasa kejayaan Islam menguasai peradaban Eropa, yakni Venezia.
Dengan menumpang bus kami ke sana. Dalam perjalanan kami menjadi sadar bahwa pedalaman Eropa ini – kota Venesia – sebenarnya kota kecil di pinggir pantai yang berada di kampong hijau. Penduduknya tak banyak. Namun, suasana asri khas Eropa. Rumah penduduk tertata. Taman kota pin rapi. Jalanan tak hirup pikuk. Angkutan trem tersedia.
Bayangannya suasana Venizia persis kota Temanggung atau Solo meski dengan catatan penduduknya jarang dan tak hirup pikuk dengan mobil dan sepeda motor.
Setelah berapa lama dalam bus dan melewati kawasan pantai sampailah kami ke kawasan pintu masuk ke pelabuhan Venezia. Entah kenapa, beberapa kali sopir bus bule kami yang asal Belgia, ke luar masuk tempat itu. Kami merasa pasti ada masalah. Lalu apa?
Setelah saya tanya kenapa bus bolak-balik dan maju mundur masuk ke area pelabuhan, dia menjawab singkat. Dia hanya menjawab singkat ada masalah dengan petugas parkir dan tiket. Uniknya sembari menjawab begitu dia terlihat menjetikan ibu jari dan telunjuknya di dekat telinga.’’Money”, katanya singkat. Sontak kami pun tertawa ngakak. Italia memang tak beda dengan Indonesia, sama-sama penuh ‘mafia’.