Jumat 05 Apr 2024 13:44 WIB

Pelajaran Akhlak dari Bocah Bukhara Ketika Iktikaf di Atap Masjid Nabawi

Itikaf di Atap Masjid Nabawi

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Partner
.
Foto: network /Muhammad Subarkah
.

Iftar di Masjid Nabawi pada Ramadhan 2024. (foto: haramainsharifain.com)
Iftar di Masjid Nabawi pada Ramadhan 2024. (foto: haramainsharifain.com)

Oleh: Dr Ari Yusuf Amir, Pengacara Senior dan PembinaYayasan LBH Yusuf.

SORE itu, saya beritikaf di atap Masjid Nabawi, sambil menanti takjil. Suasananya ramai tapi khusyu’. Sedikit pun tak terasa situasi “takjil war” di sini, meskipun makin banyak jamaah yang menanti berbuka seraya merapal doa. Setiap jamaah telah mendapat jatah makanan pembuka. Semuanya gratis.

Persis di sebelah saya, duduk seorang bocah berkisar umur 12-an tahun. Tubuhnya tampak sehat dan tegap. Dengan rambut lurus yang disisir samping dengan rapi, wajahnya yang putih-bersih terlihat segar, dengan pipi bersemu merah.

Tampaknya ia berasal dari Tajikistan atau Kazakhstan — atau negara pecahan Uni Soviet lainnya yang sedang dilanda konflik. Atau mungkin juga ia dari Bukhara, sekampung dengan Imam Bukhari, perawi hadis dari negeri yang kini menjadi kota di Uzbekistan itu.

Dengan kesungguhan orang dewasa, ia terlihat khusyu’ membaca Al-Quran. Ia juga menyambut dan meladeni dengan riang para jamaah yang berbagi makanan. Memang, di Masjid Nabawi yang megah dan syahdu itu, para jamaah selalu berupaya untuk berbagi makanan kepada jamaah lainnya demi mengharap berkah dari keutamaan berbagi.

Ia mengumpulkan makanan yang didapatnya dengan wajah bahagia. Ia lalu kembali khusyu’ melanjutkan membaca Al-Quran. Ia tidak memilih bermain HP seperti kebanyakan anak seusianya. Atau mungkin juga ia memang tak memiliki HP karena keterbatasannya.


Dari saku celananya, ia mengambil segenggam kacang, yang kemudian disusunnya dengan rapi di hadapannya, siap disantapnya jika saat azan maghrib berkumandang sebentar lagi. Kacang itu hasil swadaya, bukan pemberian orang lain; ia membawa sendiri untuk bekal awal berbuka.

Ketika azan bergema, dengan penuh semangat ia menyantap semua makanan yang didapat, sambil sedikit-sedikit ia sertai dengan kacang simpanannya. Rupanya kacang-kacang aneka jenis itu makanan kesukaannya, terlihat dari kecermatannya dalam menaruh maupun memakannya.

Bagi saya ini bukan pemandangan biasa, dan mungkin karena inilah perhatian saya, tanpa sepenuhnya menyadarinya, tertuju pada gerak-gerik bocah itu hingga waktu berbuka. Rupanya bocah itu sadar kalau saya sedang memperhatikannya. Di titik inilah terjadi hal yang mengejutkan.

Kacang kesayangannya itu tiba-tiba ia pilah menjadi dua bagian. Yang pertama ia makan, dan yang kedua ia sodorkan kepada saya. Pastilah ia mengira saya kepingin mencicipi kacang favoritnya itu, karena ia merasakan saya memandanginya terus.

Saya terkejut dengan sikapnya itu. Tiba-tiba hati saya disergap perasaan haru. Dari semua yang terlihat di permukaan, kehidupan bocah ini tampak susah dan penuh keterbatasan. Tetapi, dengan segala kekurangan itu, ia bersikap ikhlas dan bersemangat untuk memberi saya makanan sederhana yang ia miliki dengan alakadarnya.

Hati saya terus dicekam rasa haru sekaligus malu. Saya merasa, orang-orang yang dilimpahi berkah berlebih pun — mungkin termasuk diri saya sendiri — terkadang masih enggan untuk berbagi. Sikap orang-orang itu, kami, seakan lebih miskin dari bocah bersahaja di samping saya ini.


Sepanjang melakukan salat maghrib saya tak sanggup membendung airmata yang tak henti meleleh membasahi wajah. Bocah Bukhara itu dengan caranya sendiri, dan tanpa diniatkannya, telah memberi saya suatu pelajaran moral-spiritual yang teramat indah, yang rasanya tak akan bisa saya dapatkan dari orang dewasa mana pun.

Seusai salat, saya mendekatinya, lalu meletakkan sejumlah uang ke tangannya. Ia tampak kaget.

Ia memandangi uang di tangannya itu. Lalu ia berbalik dan menangis sambil memeluk saya. Mungkin ia membayangkan bahwa dengan rezeki itu ia bisa membeli makanan untuk bekal selama beberapa hari ke depan buat keluarganya.

Ia kemudian menundukkan kepala dan dengan sopan berpamitan. Hendak ke manakah dia? Mungkin menemui keluarganya di pengungsian, yang sedang mengalami kekurangan makanan.

Saya terus memikirkan anak itu — dan berterima kasih kepadanya karena telah memberi saya pelajaran ahlak yang amat berharga. *

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement