Riset pengelolaan sampah pun perlu dilakukan agar penanganan sampah tepat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center for Sustainability and Waste Management (CSWM) Universitas Indonesia (UI) Prof M Chalid memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya sampah plastik.
"Penanggulangan sampah plastik merupakan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan. Baik dari sisi industri, pembuat kebijakan, serta masyarakat sebagai konsumen dari produk yang dihasilkan," kata Chalid dalam keterangannya di Depok, Ahad (19/5/2024).
Prof Chalid yang juga Ketua Himpunan Polimer Indonesia (HPI) mengatakan riset terkait pengelolaan sampah perlu dilakukan agar penanganan sampah dapat dilakukan secara tepat. Riset terkait sampah plastik dilakukan oleh CSWM UI bersama Net Zero Waste Management Consortium dan Komunitas Peduli Ciliwung.
Sementara itu Dosen Teknik Lingkungan FTUI Astryd Viandila Dahlan dan perwakilan Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (INAPLAS) Fajar Budiono memaparkan hasil kajian mengenai jenis dan bentuk sampah yang ada di Sungai Ciliwung.
Menurut Astryd, sungai ini dipilih karena merupakan sumber air bagi masyarakat, tapi tercemar oleh limbah padat (sampah) ataupun limbah cair domestik. "Penelitian ini adalah langkah awal. Oleh karena itu akan dilakukan penelitian lanjutan, terutama terkait hasil analisa segmentasi sampah berdasarkan produsennya," ujar Astryd.
Pada penelitian tersebut, sampah untuk sampel penelitian diambil dari beberapa lokasi antara lain Bendung Katulampa, Sukahati, Jembatan Panus, Pintu Air Manggarai, Pintu Air Muara Angke, dan Pintu Air Ancol.
Dari enam titik lokasi tersebut terkumpul 32.364 sampah yang dikategorikan dalam sepuluh jenis. Tujuh di antaranya adalah material polimer berupa kain, karet, kayu, kertas, logam, plastik, dan gabus.
Dari keseluruhan, sampah berbahan dasar plastik, kain, dan gabus mendominasi. Sampah plastik banyak ditemukan di berbagai titik baik dalam keadaan utuh maupun serpihan dengan total mencapai 19.466 buah atau 67,88 persen dari seluruh sampah yang dikumpulkan dan dipilah. Adapun sampah bungkus dan saset plastik yang berhasil dipilah masing-masing mencapai 3.974 dan 3.324 sampah atau sekitar 13 persen dan 11 persen.
Sementara itu sampah gabus dan kain berjumlah 3,9 persen, sampah limbah B3 1,7 persen, dan sampah kayu sebesar 0,6 persen.
Fajar Budiyono dari INAPLAS menyebut pengelolaan sampah di Indonesia masih dilakukan dengan cara diangkut dan ditimbun (68 persen), dikubur (9 persen), didaur ulang (6 persen), dibakar (5 persen), bahkan tidak dikelola (7 persen). Sampah organik memiliki persentase paling banyak di Indonesia yang mencapai 60 persen.
Sementara jenis sampah lainnya seperti logam, karet, kain, dan kaca sebanyak 17 persen, sampah kertas 9 persen, dan sampah plastik 14 persen.
Untuk mengontrol konsumsi barang yang berdampak negatif pada lingkungan, pemerintah menerapkan aturan cukai plastik.
Plastik konvensional dikenakan cukai sebesar Rp 30 ribu/kg. Plastik dengan kandungan prodegradant dikenakan 50 persen tarif cukai, sedangkan plastik biogedradable tidak dikenakan tarif cukai.
Ia mengatakan penetapan cukai plastik merupakan upaya untuk menekan penggunaan plastik, khususnya oleh pelaku industri. Hal ini karena ada jenis plastik yang tidak dapat didaur ulang, seperti plastik dengan kandungan prodegradant. Bahkan di beberapa negara, penggunaan plastik ini telah dilarang.
Temuan kajian ini diharapkan dapat menimbulkan kesadaran bagi produsen dan konsumen agar dapat mengolah sampah yang dihasilkan, sehingga tidak menimbulkan masalah berkelanjutan.