Ahad 07 Aug 2016 07:00 WIB

Memelihara Anak Yatim Zaman Belanda Hingga Indonesia Merdeka

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Alwi Shahab

Tsunami di Aceh menimbulkan banyak korban. Puluhan ribu anak kehilangan orang tua dan kerabat dekat di luar keluarga inti. Agar tidak menjauhkan mereka dari akar dan sejarah budaya Aceh, pemerintah melarang mengadopsi para yatim piatu di Aceh. Masyarakat Nangro Aceh Darussalam (NAD) sendiri tidak mengenal pola asuh melalui panti asuhan.

Dalam kaitan ini, tanpa para yatim piatu keluar Aceh, Panti Asuhan Daarul Aitam di Jakarta menawarkan solusi berupa manajemen Pengelolaan Rumah Perlindungan dan Rehabitasi Anak (RPRA). RPRA sebagai 'jembatan' sementara menampung korban bencana hingga mereka bertemu dan berkumpul dengan keluarga. Namun bagi yang belum menemui keluarganya tetapi merasa enjoy di rumah tersebut, mereka akan tetap ditampung hingga waktu tidak terbatas.

Sejarah panti asuhan di Indonesia telah berlangsung sejak awal abad ke-19, atau sekitar awal 1800-an. Kala itu, panti-panti asuhan ini dikelola gereja, keluarga militer Belanda maupun Inggris serta masyarakat Tionghoa.

Umumnya mereka menyelamatkan anak-anak yang ayahnya meninggal dunia akibat perang atau berbagai akibat lainnya. Para yatim ini kebanyakan memiliki ibu orang Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement