REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Susilo Bambang Yudhoyono, saat masih menjabat sebagai presiden, meminta kepada para bupati dan wali kota membuat jalur untuk sepeda sebagai alternatif transportasi para pekerja menuju kantornya. Selain bersih dan ramah lingkungan, bersepeda juga hemat secara ekonomi dan menyehatkan para pengayuhnya.
Sepeda bukan barang baru di Indonesia. Bahkan sampai 1950-an pernah mendominasi transportasi di Jakarta, di samping becak. Ke sekolah dan perguruan tinggi orang naik sepeda. Demikian juga para pekerja, ke kantor-kantor pulang pergi bersepeda.
Di tempat-tempat tersebut, termasuk bioskop dan tempat hiburan, ada parkir khusus untuk sepeda. Maklum, kala itu mobil dan motor yang sekarang jumlahnya seabrek-abrek belum banyak jumlahnya. Kalaupun ada, hanya milik orang-orang tajir (kaya).
Sepeda pertama muncul di Batavia —sebutan Jakarta kala itu— pada 1890. Pada waktu itu, sepeda merk ‘Rover’ yang harganya 500 gulden menjadi kebanggaan luar biasa bagi para pemiliknya. Pedagang sepeda pertama adalah seorang Belanda bernama Gruyter. Tokonya terletak di Gambir, dekat Monas sekarang.
Di tempat ini dia memiliki sebidang tanah lapang untuk tempat balapan sepeda bagi para pelanggannya. Pesertanya hanyalah orang Belanda dan Cina saja. Karena merekalah yang mampu membelinya. Pada 1937, di Batavia tercatat ada 70 ribu sepeda, atau satu sepeda untuk delapan penduduk. Penduduk baru sekitar 600 ribu jiwa.
Kalau saja rakyat Jakarta yang belasan juta banyak bersepeda saat ke kantor, polusi di Ibu Kota yang sudah hampir kagak ketulungan bisa berkurang. Demikian pula dengan kemacetan lalu lintas akibat jumlah mobil dan motor yang meningkat drastis. Sehingga Pemprov DKI Jakarta saat ini tidak perlu memutar otak mencari solusi mengurai kemacetan yang saban hari kian akut. Solusi mulai dari penerapan 3 in 1, Electronic Road Pricing (ERP), hingga kebijakan pelat ganjil-genap dinilai belum mampu membuat para pengguna kendaraan pribadi berpaling ke angkutan umum.