Rabu 24 Jul 2019 10:42 WIB

Bagi Orang Betawi, Komunis Itu Lebih dari Setan dan Iblis

Orang Betawi tidak senang terhadap komunis karena mengikuti para ulamanya.

Salah satu Warga Betawi di wilayah Setu Babakan.
Foto: Republika/Riza Wahyu Pratama
Salah satu Warga Betawi di wilayah Setu Babakan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Ada yang mengibaratkan orang Betawi seperti Ciliwung yang membelah kota Jakarta. Sungai, yang pernah menjadi tumpuan hasrat hidup masyarakat banyak, tetapi kini sudah berubah bentuk menjadi semacam selokan. Entah kapan nantinya mungkin ia akan hilang dari peta. Perumpamaan ini menunjukkan orang Betawi makin menghilang dari kotanya sendiri.

Dan itu semua demi untuk kepentingan 'umum' yang sebenarnya adalah 'kepentingan' para pendatang. ”Orang Betawi tidak berkurang. Cuma sekarang ini mereka sudah kagak ngumpul seperti dulu. Ude pade berpencar,” kata Yahya Andi Saputra, staf sekretariat Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Penggusuran demi "pembangunan" dan lahan yang semakin terbatas, mau tidak mau harus diterima warga Betawi.

Namun ini harus juga diartikan orang Betawi punya toleransi yang besar terhadap pembangunan kota Jakarta. Almarhum Benyamin Sueb pernah menyatakan orang Betawi itu terlalu baik terhadap para pendatang yang terus menyerbu kota kelahirannya.

”Coba kalo Jakarta itu ada di Padang, kan sulit dibangun karena adatnya kuat,” kata aktor Betawi yang meninggal pada 5 September 1995 itu.

Kenyataannya adalah lebih dari satu juta orang Minang yang kini hidup di Jakarta. Toleransi orang Betawi terhadap pembangunan kotanya memang tidak diragukan.

Namun faktanya mereka lebih banyak dirugikan. Seperti harga tanah yang dibeli secara tidak wajar, sementara aparat Pemda dalam hal ini memihak kepada developer. Sesuatu yang tidak boleh terjadi lagi di masa-masa mendatang.

Tingginya toleransi terhadap pendatang, menurut ketua LKB H Irwan Sjafi’ie, terjadi karena orang Betawi kuat agamanya. Mereka tidak mau berprasangka buruk (suudzon), apalagi terhadap orang yang belum mereka kenal.

Mereka juga jarang yang mau memamerkan ilmu dan kekayaan pada orang luar. Karena pengaruh Islam itulah orang Betawi antikomunis.

Terbukti ketika ada kekuatan-kekuatan yang ingin menghidupkan kembali komunisme, Ikatan Keluarga Besar Tenabang (IKBT) dan berbagai ormas Betawi lainnya, siap berhadapan dengan mereka.

”Bagi orang Betawi, komunis itu lebih dari setan dan iblis. Karena setan dan iblis masih percaya sama Tuhan. Sedangkan komunis tidak mengakui Tuhan,” kata Irwan. Mereka, tidak senang terhadap komunis, mengikuti para ulamanya.

Di samping itu, para ulama Betawi merupakan figur-figur yang tidak mau dikultuskan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, karena sejak dulu orang Betawi mendapatkan Islam melalui madrasah yang merupakahn pendidikan modern.

Sejak awal abad ke-20 telah berdiri madrasah Jamiatul Khair (1901), Unwanul Falah (1906) dan Al-Irsyad (1912). "Apabila di sana-sini ada murid-murid yang ingin mengkultuskan ulamanya, seperti yang telah meninggal dunia, justru keluarga ulama itu sendirilah yang mencegahnya," kata Irwan.

Sedangkan Ridwan mencontohkan, Habib Usman bin Yahya, yang kitab-kitab karangannya hingga kini masih digunakan di pengajian-pengajian tradisional. ”Orang Betawi umumnya kagak tau di mana ia dimakamkan. Juga tidak kedengaran pernah diadakan haul untuk ulama tempo dulu ini."

Ulama-ulama Betawi tempo doeloe karena berhadapan langsung dengan penjajah, selain mengajar ilmu agama, juga ilmu bela diri atau silat, yang oleh orang Betawi disebut maen pukulan. Tetapi, kata Irwan, mereka tidak pernah mengajarkan ilmu yang aneh-aneh, seperti menjadikan si murid kemasukan roh halus.

Di samping ulama, tokoh yang disegani masyarakat Betawi adalah jagoan. Tetapi, jagoan jangan diartikan sebagai preman yang tidak selalu berbuat kejahatan.

Mereka adalah semacam jawara kampung yang menjadi ‘palang dade’, benteng penghalang orang yang datang dari luar yang ingin mengganggu keamanan kampung. Prinsip jagoan Betawi: ‘Tidak ingin menjual. Tapi kalau lawan mau menjual, kita akan beli.”

Di masa lalu, di tiap-tiap kampung pasti ada dua tokoh: ulama dan jagoan. Antara ulama dan jagoan tidak konfrontatif. Bahkan saling bantu membantu.

Terbukti pada masa revolusi fisik ketika para ulama turut mendorong para pemuda dan jagoan untuk maju ke front depan. Bahkan, tidak sedikit ulama yang turut serta memanggul senjata melawan NICA.

Untuk itu, Irwan mengungkapkan istilah Betawi: "Setiap hutan tentu ada macannya."

Yang dimaksud hutan adalah kampung. Sedangkan macan bisa ulama, bisa jagoan. Para jagoan sangat hormat dan segan pada ulama. Karena ulamalah figur yang paling dihormati. Mungkin sekarang sudah banyak berubah. Tapi kita harus menaruh hormat ke mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement