REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID -- Selama Orde Baru, Soeharto sebagai presiden memegang kekuasaan dengan kontrol yang sangat ketat. Militer pun mendapat tempat dan dominan di pemerintahan. Pada 1968 hingga Maret 1973 Presiden Soeharto saat itu menjabat presiden, sekaligus Panglima ABRI dan Menhankam.
Setelah itu Panglima ABRI dijabat Jenderal TNI Maraden Saur Halomoan Panggabean yang juga merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan. Menarik M Panggabean merupakan satu dari tiga perwira yang membawa surat Supersemar, bersama Andi Muhammad Jusuf (Jadi Panglima ABRI setelah M. Panggabean), Amir Machmud dan Basuki Rahmat.
Peristiwa Malari menjadi catatan buruk pelanggaran HAM pada masa Panglima ABRI M Panggabean. Setelah M Panggabean, Presiden Soeharto mengangkat Jendral TNI Andi Muhammad Jusuf Amir (M Jusuf) sebagai Panglima ABRI pada 17 April 1978. Saat menjabat Panglima ABRI sosok M Jusuf sangat populer di kalangan tentara. Kepopulerannya M Jusuf ini memunculkan tuduhan ambisi kekuasaan.
Bahkan isu ambisi kekuasaan ini disampaikan Amirmachmud yang saat itu menjabat menteri dalam negeri. Panglima ABRI M Jusuf dituduh berambisi mengambil kekuasaan Orde Baru dari Soeharto. Namun M Jusuf membantah tuduhan itu. Sejak tuduhan itulah hubungan antara ia dan Presiden Soeharto merenggang, sehingga M Jusuf diberhentikan sebagai Panglima ABRI pada April 1983.
Setelah M Jusuf, Presiden Soeharto menunjuk Leonardus Benyamin (LB) Moerdani sebagai Panglima ABRI pada 23 Maret 1983. Berbeda dengan Panglima ABRI sebelumnya LB Moerdani tidak merangkap jabatan sebagai menhankam. Namun ia memiliki kekuasaan cukup kuat di bawah Soeharto saat itu. Karena kariernya di dunia intelejen sangat mumpuni.
Kasus pelanggaran HAM pun pernah dialamatkan kepada LB Moerdani sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Di antaranya Peristiwa Tanjung Priok 1984. Kuatnya dominasi LB Moerdani ini memunculkan spekulasi ia menginginkan kekuasaan wakil presiden lebih jauh. Dalam salah satu kampanye politik PDI, dikabarkan LB Moerdani dekat dengan anak kedua Soekarno, Megawati Soekarnoputri.
Moerdani berusaha ingin mengimbangi kekuasaan yang saat itu dianggap sangat kuat terpusat di Soeharto. Inilah yang membuat tuduhan bahwa Moerdani menginginkan kekuasaan semakin menguat. Hal ini membuat Presiden Soeharto bertindak tegas, bagi siapa saja yang menginginkan kekuasaan tanpa restu darinya.