REPUBLIKA.CO.ID, Merdeka atau mati. Semboyan itu menggema di markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jalan Pregonalan, Surabaya pada 9 November 1945, sehari sebelum insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato terjadi. Ratusan pemuda bersenjata berkumpul. Tak terkecuali sejumlah tokoh yang mengobarkan semangat para pemuda. Salah satu di antaranya yakni Sungkono.
Dalam pertemuan itu, Sungkono diangkat Komandan Perahanan Surabaya bersama rekannya Surachman yang diangkat sebagai komandan pertempuran. Setelah menjadi komandan pertahan, Sungkono menyampaikan pidatonya di hadapan ratusan pemuda yang hadir. Di tengah situasi Surabaya yang mencekam, dalam pidatonya itu, Sungkono menegaskan kesiapannya untuk tetap berada di Surabaya.
“Saudara-saudara saya ingin mempertahankan Kota Surabaya. Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan tapi saya akan mempertahankan kota sendiri,” kata Sungkono seperti ditulis Frank Palmos dalam Surabaya 1945, Sakral Tanahku.
Pertemuan itu juga menyepakati terkait garis pertahanan kota yang dibagi menjadi tiga zona. Yakni di wilayah Jalan Pasar Babakan, di jembatan layang Pasar Besar dan di Daerah Wonokromo.
Selain itu, momentum tersebut dimanfaatkan baik untuk mengobarkan semangat para pejuang di Surabaya melalui sumpah pejuang dengan semboyan merdeka atau mati. Sumpah bersejarah itu ditulis dan ditandatangani 12 jam sebelum Inggris memulai serangan 10 November.
“Tetap merdeka. Kedaulatan negara dan bangsa Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh sungguh, penuh tanggung jawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad ‘Merdeka atau Mati’!!! Sekali merdeka tetap merdeka."