REPUBLIKA.CO.ID, Perjuangannya KH Ahmad Dahlan membesarkan Muhammadiyah penuh lika-liku. Tak hanya tantangan dari pemerintah Belanda, bahkan ia harus menghadapi masyarakat dan umat Islam yang menolak Muhammadiyah. Sebab, ide-ide pembaharuan KH Ahmad Dahlan dianggap aneh dan menyeleweng dari Islam.
Penolakan kepada Muhammadiyah karena sejumlah hal. Misalnya Kiai Dahlan dengan mendirikan sekolah yang mengajarkan ilmu agama juga ilmu umum, hingga mengajarkan seni bermusik kepada siswanya. Bahkan Kiai Dahlan pada saat itu dituduh sebagai kiai kafir.
Kendati demikian, perjuangan Ahmad Dahlan tak berhenti. Bahkan gagasannya disebarkan melalui tabligh ke berbagai kota melalui relasi-realsi dagang yang dimilikinya. Pada akhirnya gagasannya pun diterima masyarkat di berbagai wilayah.
Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungannya terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah pun makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia.
Pada 7 Mei 1921, Kiai Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah. Permohonan itu pun dikabulkan pada 2 September 1921. Muhammadiyah pun berkembang pesat hingga saat ini.
Sepak terjang KH Ahmad Dahlan hingga akhirnya mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membatasi setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan Muhammadiyah.
Belanda hanya mengizinkan Muhammadiyah melakukan kegiatannya di Yogyakarta saja sesuai dengan surat ketetapan pemerintah Hindia Belanda nomor 81 tanggal 22 Agustus 1914. Namun, gerakan dakwah Muhammadiyah tak terbendung.
Tokoh dan masyarakat di beberapa wilayah kemudian mendirikan cabang Muhammadiyah. Kedati demikian mereka menggunakan nama samaran. Tujuannya untuk mengelabui pemerintah Belanda.
“KH Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fatonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadyah,” dalam buku KH Ahmad Dahlan yang diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional.
Sementara di dalam kota Yogyakarta, Ahmad Dahlan juga menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan untuk menyelenggarakan pengajian dan kegiatan dakwah Islam lainnya. Di antara perkumpulan-perkumpulan yang mendapat bimibingan dari Muhammadiyah pada waktu itu yakni Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Jamiyatul Muslimin, Syaharatul Mubtadi dan beberapa lainnya.