REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengawasan atas hak kekayaan intelektual (HKI) memiliki relevansi yang penting dengan kewenangan Bea Cukai. Bea Cukai berperan dalam mengawasi impor dan ekspor barang, termasuk produk-produk yang melanggar HKI, seperti barang bajakan, merek dagang palsu, atau produk dengan paten yang tidak sah, sehingga dapat mencegah perdagangan atau peredarannya secara bebas di pasaran.
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Encep Dudi Ginanjar mengatakan, kewenangan pengawasan dugaan pelanggaran HKI oleh Bea Cukai secara ex-officio tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 1995 jo UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Mekanisme pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Kekayaan Intelektual, dan PMK Nomor 40 Tahun 2018 tentang Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring dan Evaluasi dalam rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
“Dengan pemeriksaan cermat terhadap barang-barang yang masuk atau keluar dari suatu negara, Bea Cukai dapat mengidentifikasi dan menahan produk-produk ilegal tersebut, sehingga melindungi pemegang hak kekayaan intelektual dari kerugian finansial dan mencegah persaingan yang tidak sehat di pasar,” ungkapnya.
Terkait pengawasan HKI tersebut, Bea Cukai juga berwenang dalam melakukan pendaftaran perekaman (rekordasi) oleh para pemenag hak (rekordan). Menurut Encep, dalam program rekordasi di Bea Cukai hingga Maret 2024 sudah ada 7 entitas dengan 32 merek yang terdaftar. Dari 7 entitas tersebut, ketiganya merupakan perusahaan penanaman modal asing. Dari 32 merek yang sudah terdaftar tersebut, Bea Cukai sudah melakukan empat belas penegahan yang tersebar di beberapa pelabuhan besar di Indonesia.
“Penegahan yang dilakukan mayoritas terhadap produk fast moving consumer goods, seperti ballpoint, pisau cukur, kosmetik, dan masker,” sambungnya.
Rekordasi ini gratis tanpa dipungut biaya apapun, dan pemegang merek cukup membuat user pada Ceisa HKI melalui portal customer.beacukai.co.id. Sementara untuk persyaratan dan dokumen yang harus dilampirkan, semua telah tertuang dalam lampiran PMK Nomor 40 Tahun 2018. Dan maksimal 30 hari pemegang merek akan menerima surat persetujuan rekordasi atau pengembalian permohonan Bea Cukai.
Menurut Encep, ada beberapa hal positif yang diharapkan dari optimalnya pengawasan barang HKI oleh Bea Cukai. Pertama untuk meningkatkan perlindungan masyarakat dari paparan barang palsu, kedua untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri, dan ketiga untuk memperbaiki reputasi negara.
Kini persepsi bahwa “Indonesia adalah Surga Barang Palsu” seolah-olah melekat di dunia internasional. Salah satunya tecermin dalam status priority watch list (PWL) yang ditetapkan oleh United States Representative Office (Kantor Kamar Dagang Amerika Serikat). Menurut USRO, Indonesia dinilai memiliki tingkat pelanggaran kekayaan intelektual cukup berat. Untuk itu, optimalisasi pengawasan barang HKI oleh Bea Cukai salah satunya bertujuan untuk memperbaiki citra Indonesia serta menyatakan keseriusan Indonesia dalam menanggulangi dan memerangi peredaran barang palsu.
“Ada beberapa hal yang telah kami lakukan, seperti program terobosan Customs Visit to Potential Recordant (CVPR) atau mengunjungi entitas-entitas pemilik merek di Indonesia yang berpotensi untuk rekordasi. Selain itu juga melaksanakan sosialisasi kepada para pemilik merek dan internalisasi kepada para pejabat atau pegawai pada satuan kerja di wilayah atau kantor pelayanan, mengasistensi dan pengawasan rutin di pelabuhan besar dan bandara internasional, serta terus bekerja sama dan berkoordinasi secara rutin dengan pihak terkait,” ungkap Encep.
“Dari sini bisa dipastikan pengawasan atas pelanggaran HKI bukan tanggung jawab Bea Cukai saja, tetapi menjadi tanggung jawab seluruh aparat penegak hukum terkait sesuai tugas dan kewenangan masing-masing. Untuk itu dibutuhkan persamaan persepsi dan tujuan,” ujarnya.