Novel oleh Damar Pratama *)
Kapal luar angkasa raksasa berbentuk seperti ular besar melayang dengan tenang. Cahaya biru dari pantulan bintang-bintang mengiluminasi permukaan kapal, menciptakan bayangan aneh di dinding-dinding metaliknya yang mengkilap.
Kapal raksasa itu milik ras alien Reptilians. Ras ini berasal dari Planet Alpha Draconia yang gersang, tandus, dan keras. Mereka makhluk yang dikenal karena teknologi yang canggih namun juga memiliki kecenderungan agresif. Setiap planet atau dunia yang menjadi incaran mereka akan hancur lebur tak tersisa.
Bangsa Reptilians hidup di dunia yang telah kehilangan semua harapan dan keindahan alam. Mereka sedang dalam usaha menciptakan "Heaven’s Gate" sebuah portal yang bisa membuka gerbang ke dunia lain. Para Reptilians itu ingin menemukan surga.
Planet Alpha Draconia yang berada di ujung Galaksi Bimasakti kini sudah hancur akibat ditelan oleh sebuah lubang hitam karena itu Reptilians berusaha mencari dan kemudian menjajah planet planet baru. Mereka juga memiliki sekte yang menyakini jika bangsa Reptilians adalah kaum yang terpilih di alam semesta dan satu satunya bangsa yang berhak atas surga.
Ras Reptilians adalah mahluk yang sangat berhati-hati meskipun memiliki teknologi sangat futuristik dibanding dengan planet atau dunia baru yang dikunjunginya. Namun mereka tak serta merta asal bergerak dan bertindak untuk melakukan invasi.
Reptilians lebih suka melakukan infiltrasi dan menyamar menjadi berbagai pemimpin dunia dari planet atau dunia yang mereka taklukkan dengan kemampuan berubah wujud. Mereka selalu menanamkan dalam pikiran jika mereka bukan ras terkuat di alam semesta, mereka lebih suka berpikir jika ada orang yang lebih kuat dari mereka di dunia isekai maupun planet lain.
Reptilians pun sudah menginvasi Planet Bumi dengan tujuan untuk mengendalikan populasi manusia. Mereka melahap manusia sebagai sumber makanan atau untuk tujuan riset peradaban, mereka menyusup ke dalam posisi-posisi berpengaruh di dunia manusia.
Beberapa di antara mereka menyamar sebagai politisi, pejabat pemerintah, pemimpin bisnis, atau tokoh-tokoh berpengaruh lainnya. Dalam penampilan sebagai manusia,, Ras Reptilians menggunakan pengaruh dan kekuasaan untuk mengatur dan mengontrol masyarakat manusia, serta untuk memanfaatkan manusia sebagai sumber daya yang diperlukan.
Ras Reptilians memandang bumi sebagai kebun binatang kosmik. Awalnya mereka mengamati manusia tanpa ikut campur terhadap kehidupan layaknya manusia melihat binatang di kebun binatang sampai di suatu titik mereka berusaha menaklukkan bumi.
Reptilians juga menjadi dalang di balik berbagai kejadian besar di dunia seperti Perang Dunia II dan perlombaan luar angkasa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Herodah M78 adalah kapal penjelajah utama dari armada Reptilians yang dirancang untuk menjelajahi ruang angkasa dan mampu membuka portal kuantum untuk pergi ke dimensi alam semesta lain. Mereka menjalankan misi ekspansi ke wilayah-wilayah baru. Namun, ada sesuatu yang sangat unik tentang kapal ini: meskipun tampak megah dan futuristik, Herodah M78 membawa beban yang menakutkan bagi berbagai ras di seluruh galaksi.
Ketika kapal ini terbang di atas planet atau koloni yang mereka kunjungi, tanpa perlu mendarat pun, Herodah M78 mampu melepaskan polusi yang sangat berbahaya. Ini bukan polusi konvensional seperti yang dikenal manusia, tetapi partikel energi negatif yang secara langsung mempengaruhi kesehatan dan keseimbangan alamiah manusia atau makhluk lain yang hidup di planet-planet yang dikunjungi Reptilians.
Ketika Herodah M78 melayang di atas sebuah koloni manusia yang damai, udara tiba-tiba terasa berat dan tercemar oleh energi yang mematikan. Tanaman dan hewan-hewan lokal mulai layu dan mati secara misterius, sementara manusia kelelahan dan terkena penyakit yang tidak bisa dijelaskan.
Para Reptilians dari Alpha Draconia menggunakan Herodah M78 sebagai alat untuk memperluas pengaruh dengan cara yang tidak langsung namun sangat efektif. Mereka tidak perlu berperang atau menaklukkan secara langsung; cukup dengan melayang di atas planet yang ingin dikuasai, mereka bisa melemahkan pertahanan dan sumber daya alam para penduduk setempat.
Sementara itu, di galaksi yang luas ini, banyak ras yang berusaha melawan pengaruh Reptilians yang memiliki teknologi mematikan. Pertempuran untuk kelangsungan hidup planet-planet dan koloni-koloni yang masih belum terjajah terus berlanjut, sementara Herodah M78 terus melayang di angkasa, menjadi simbol ancaman yang terus membebani kehidupan di berbagai penjuru galaksi bahkan seluruh alam semesta.
Kondisi hidup yang sudah nyaman merupakan puncak insting bertahan hidup dari serangkaian tragedi, musibah dan perang dalam sejarah manusia. Manusia tidak akan pernah mau melompati kondisi mereka yang sebenarnya sedang dimanipulasi oleh ras lain.
Padahal peperangan yang dihadapi manusia merupakan tempat inovasi penemuan dan teknologi. Hanya dari tantangan dan rasa sakit manusia berinovasi. Sayangnya, manusia hanya selalu ingin berada di zona nyaman, stagnan tanpa rasa sakit ataupun tujuan, tapi menderita seolah hidup tak memiliki arti.
Dunia pun lalu mengecil, dan di atasnya melompat-lompat si manusia terakhir yang membuat segala sesuatunya menjadi kecil. Rasnya bagai kutu yang tidak dapat dibasmi.
Baca selanjutnya...
Aku ingat dengan kejadian mengerikan saat aku masih hidup di bumi. Di sudut studio yang gelap, lampu-lampu sorot hanya menerangi wajah-wajah cemas para pembawa berita televisi. Suara berat dan serak mengumumkan kabar tragis yang tidak dapat dipercaya:
"Pagi ini, dunia seperti yang kita kenal telah berubah selamanya. Bangsa Reptilians, entitas alien yang disembunyikan di antara kita selama ratusan tahun, telah melancarkan serangan besar-besaran terhadap bumi. Kota-kota besar di seluruh dunia diliputi kehancuran. Para pemimpin dan pejabat yang kita kira adalah manusia, ternyata adalah agen-agen dari ras asing ini."
Suasana siaran terasa tegang. Layar di belakang mereka dipenuhi dengan gambar-gambar kehancuran yang tak terbayangkan: gedung-gedung hancur, jalan-jalan yang dipenuhi reruntuhan, dan orang-orang yang berlarian mencari tempat berlindung.
"Ini bukanlah hanya invasi fisik, tetapi juga invasi dalam hati dan jiwa kita. Selama ini, mereka telah memanipulasi kebijakan dunia, mengatur perang dan perdamaian sesuai dengan agenda mereka sendiri. Kita hidup dalam bayang-bayang mereka."
Pembawa berita mencoba untuk tetap tenang, meskipun kepanikan mulai terasa di suara paraunya.
"Pertanyaan besar yang kini kita hadapi: bagaimana kita bisa melawan musuh yang bersembunyi di antara kita? Apakah masih ada harapan bagi umat manusia? Para ilmuwan dan pakar strategi sedang berusaha mencari jawaban atas pertanyaan ini. Namun, satu hal yang pasti, dunia kita telah berada dalam perang yang tidak kita duga."
Layar di belakang mereka berubah, menampilkan wawancara singkat dengan seorang ilmuwan yang wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
"Kami tidak bisa lagi menganggap enteng ancaman ini. Mereka memiliki teknologi dan kekuatan yang jauh melampaui apa yang bisa kita bayangkan. Kita perlu bersatu sebagai umat manusia, melupakan perbedaan kita, dan bersiap untuk perang terbesar yang pernah dihadapi oleh umat manusia."
Siaran ini tidak hanya sekadar berita. Ini adalah panggilan putus asa untuk bertahan hidup, untuk menemukan kekuatan dalam persatuan, dan untuk berjuang melawan musuh yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Aku berlari secepat yang aku bisa melalui lorong-lorong sempit di antara bangunan yang runtuh di Jakarta. Suara gemuruh ledakan dan serangan energi dari langit membuat hatiku berdegup kencang. Aku menggenggam erat tangan ibuku sambil mengikuti ayahku yang memimpin jalan menuju tempat perlindungan. Di belakang mereka, terdengar suara-suara berteriak dan mengeluh, menciptakan latar belakang yang mencekam dari kepanikan massal.
"Reza, ikuti aku, sayang!" seru ibuku dengan suara terengah-engah, tetapi penuh dengan ketegasan. Mereka berlari menuju tempat yang dianggap aman, di tengah kehancuran dan asap tebal yang menyelimuti udara. Aku yang baru saja lulus SD bisa merasakan panas yang tidak biasa di atmosfer, serta bau yang asing dan tajam yang menusuk hidungku.
Tiba-tiba, sebuah ledakan besar terjadi tidak jauh dari mereka. Detik itu, duniaku berubah menjadi pemandangan kekacauan. Tubuh ibuku terlempar dari sampingku oleh gelombang kejut, dan aku terpental ke belakang, jatuh terjerembab ke tanah keras. Aku berusaha bangkit, melihat ke sekeliling dengan mata yang penuh dengan ketakutan.
"Ibu! Ayah!" teriakku dengan putus asa, namun hanya suara dentuman dan deru api yang menjawab panggilanku. Aku melihat rumah-rumah terbakar, jalan-jalan yang dipenuhi dengan puing-puing, dan orang-orang yang berlarian ke arah yang tak menentu.
Ketika aku berusaha untuk bangkit, aku merasakan sesuatu yang tajam menusuk punggungku. Aku memandang ke atas dan melihat pesawat luar angkasa besar yang melayang di atasku, mengeluarkan sinar-sinar biru yang mematikan. Aku merasakan panas menusuk tubuhku saat sinar-sinar itu menghantam tanah dan menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya. Aku yakin dunia sudah hancur dan tak ada harapan lagi untuk umat manusia.
Sebagai manusia aku hanyalah butiran debu dibandingkan agungnya alam semesta, ketika aku bertanya mengapa semua takdir ini terjadi? Alam semesta hanya diam dengan segala keagungannya, memaksaku memaknai sendiri penderitaan ini.
Segalanya terasa seperti bergerak dalam waktu lambat. Aku merasakan kepanikan luar biasa dan kehilangan yang tak terlukiskan saat tersapu gelombang energi dari pesawat itu. Tubuhku terangkat dari tanah.
*) Damar Pratama adalah seorang remaja yang begitu menggemari kata-kata. Tak heran jika ia begitu senang membaca dan lalu menggoreskan pena. Damar yang lahir di Jakarta, 11 Juli 2005, merupakan penikmat buku-buku karya Tere Liye, Pramoedya Ananta Toer, Gol A Gong, Danarto, Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, dan Sapardi Djoko Damono. Buku novel pertama Damar berjudul Miggleland Dream dibuat saat ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA Negeri 5 Depok. Kini Mahasiswa Psikologi Universitas Gunadarma Depok ini sedang menyelesaikan proyek pribadi menggarap sejumlah buku fiksi.