Selasa 29 Oct 2024 14:47 WIB

Ekonom: Kontribusi Pariwisata Terhadap PDB Bisa Tembus 5 Persen

Pariwisata harus menjadi bagian dari peradaban yang membawa kemakmuran bagi rakyat.

 Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyatakan kontribusi sektor pariwisata terhadap produk domestik bruto (PDB) bisa melampaui 5 persen. (ilustrasi)
Foto: ITDC
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyatakan kontribusi sektor pariwisata terhadap produk domestik bruto (PDB) bisa melampaui 5 persen. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyatakan kontribusi sektor pariwisata terhadap produk domestik bruto (PDB) bisa melampaui 5 persen.

Dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, dia menyoroti Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 yang menargetkan peningkatan nilai devisa pariwisata sebesar 22,10 miliar dolar AS dan kontribusi pariwisata terhadap PDB naik menjadi 4,6 persen.

Baca Juga

Ia meyakini target tersebut bisa tercapai. “Pariwisata itu luas, mencakup transportasi, akomodasi dan atraksi. Jika semuanya digabungkan, mungkin kontribusinya bisa lebih dari 5 persen atau sekitar Rp 1.044 triliun (PDB 2023: Rp 20.892 triliun),” kata Huda.

Menurutnya, yang terpenting adalah dampak positif bagi masyarakat dan peningkatan kesejahteraan. Salah satunya dengan pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan dan memperhatikan kearifan lokal, seperti memberdayakan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Selain itu, perbaikan regulasi juga perlu dilakukan. Contohnya, terkait aktivitas online travel agent (OTA) asing yang kerap membebankan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak komisi kepada hotel.

Akan tetapi, dia menekankan orang yang membuat regulasi harus yang memahami seluk-beluk pariwisata. “Itu harus diatur ulang, siapa sih yang memungut, siapa yang dipungut dan siapa yang membayar ke pemerintah. Itu harus clear terlebih dahulu oleh pemerintah,” ujar dia.

Menyambung hal itu, pengamat pariwisata Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Chusmeru menyebut masih banyak OTA yang beroperasi tanpa mematuhi aturan lokal, seperti tidak memiliki badan usaha tetap (BUT) dan tidak dikenakan pajak. Kondisi ini menciptakan ketidakadilan di pasar lantaran pelaku usaha lokal menanggung beban pajak.

Chusmeru menganggap isu ini perlu menjadi prioritas dalam program 100 hari kerja Menteri Pariwisata Widiyanti Putri, yang tidak hanya akan melindungi pelaku usaha lokal tetapi juga menciptakan iklim usaha yang lebih adil.

Ia juga menyoroti perlunya anggaran yang lebih optimal untuk promosi pariwisata, yang selama ini lemah karena keterbatasan anggaran. Selain itu, pemerintah diharapkan fokus pada pariwisata berkualitas dan regeneratif, yang tidak hanya mengejar jumlah kunjungan tetapi juga kualitas wisatawan yang berdampak positif bagi ekonomi lokal.

“Pariwisata harus menjadi bagian dari peradaban yang membawa kemakmuran bagi rakyat,” tuturnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement